Sinetron yang mengaduk-aduk perasaan itu punya daya tarik tersendiri, sedemikian rupa sehingga penggemarnya bisa jadi tak memedulikan lagi akal sehatnya. Itu tak beda jauh dari penggemar game yang kehilangan kemampuan untuk menerapkan first things first dalam hidupnya. Keduanya punya keasikan tersendiri, tetapi kalau luput mengelolanya, hidup bisa ambyar. Permainan jadi terlalu serius, yang serius jadi main-main. Baik terlalu serius maupun terlalu main-main, keduanya menyimpan kegelisahan hati yang bikin ambyar. Ambyar ini seperti paten bagi legenda campur sari yang belum lama ini dipanggil untuk menyanyi di sono. Sudah banyak eulogi terhadap the lord of broken heart itu, tak saya ulangi.
Salah satu pertanyaan tetangga kamar saya mengenai the lord ini ialah mengapa dia dan lagu-lagunya begitu connect dengan para sobat ambyar. Tentu saja karena the lord sendiri ambyar dan lagu-lagunya tersinkronisasi dengan keambyarannya, sehingga lagu-lagunya beresonansi. Resonansi mengandaikan frekuensi yang sama. Artinya, sewu kutha uwis dhak lewati itu tentu berfrekuensi sama dengan mereka yang hidupnya ke sana kemari mengejar cita dan cinta. Yang berfrekuensi sama itu tidak cuma satu dua orang. Andaikan campur sari itu diadaptasi dalam seluruh bahasa dunia, mungkin cuma sepertiga saja sebagai orang tanpa gejala. Dua pertiganya tersangkut kasus ambyar dan sepertiga dari yang tersangkut itu jadi ODP, dua pertiganya PDP. Bukankah kita maunya yang sembuh semakin banyak?
Menariknya, obat keambyarannya sendiri sebetulnya sudah ditunjukkan oleh the lord ini: dinyanyikan saja! Itu mengapa dia jadi laku keras, juga kalau keambyaran itu dimonetisasi!
Saya tidak melihat soal monetisasi keambyarannya. Jelas, kisah keambyaran itu menyentuh orang lain justru karena harapan supaya hidup orang tidak ambyar. Yang saya lihat adalah obat yang dipersaksikan the lord Didi ini sebagai jalan, hidup, dan kebenaran. Bukankah itu juga yang disampaikan Guru dari Nazareth dalam teks bacaan hari ini? “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percaya jugalah padaku!”
Seperti Guru dari Nazareth, the lord of ambyar tidak bicara mengenai kesempurnaan hidup yang ideal, tetapi justru kesempurnaan yang dibangun di atas keambyaran. Dengan lagu-lagu the lord of broken heart, sobat ambyar menemukan dirinya dimengerti, dicintai, diampuni, yang sedikit banyak membantu orang juga untuk lebih pengertian, penuh cinta dan pengampunan. Dengan begitu, orang “bernafas lega”, bahkan pada momen jantungnya berhenti bekerja. Itulah yang tadi saya bilang resonansi dan itulah juga jalan, kebenaran, dan hidup yang sesungguhnya, yang tak tersandera oleh godaan keambyaran.
Guru dari Nazareth sudah terlebih dahulu menjalani puasa selama empat puluh hari empat puluh malam sebagai kunci relasinya dengan Allah dalam keambyaran hidupnya. Apakah godaan berhenti di padang gurun itu? Tidak. Sampai mati, sampai dipanggil Tuhan untuk menyanyi atau melukis atau menulis di sono. Tak mengherankan, orang bisa omong prediksi pandemi, PSBB, hilangnya pekerjaan, atau yang miskin semakin miskin, dan sebagainya, tetapi followers the lord of ambyar teguh pada pesan gurunya: nyanyikan saja, janganlah gelisah hatimu, percayalah kepada Allah, percaya jugalah padaku.
Tuhan, mohon rahmat untuk merajut kesempurnaan di atas keambyaran hidup kami. Amin.
JUMAT PASKA IV
8 Mei 2020
Posting 2019: Jalan Setia
Posting 2018: Hidup Jalan Bener!
Posting 2017: You’ll Never Walk Alone
Posting 2016: Mau Ngapain Eaaa…
Posting 2015: Life as A Staircase
Posting 2014: Yesus Arogan Skale’
Categories: Daily Reflection