Like Father Like Son

Gambar bisa bercerita lebih banyak daripada tulisan saya untuk menerangkan judul posting ini.

Tentu masih ada gambar lain yang (lebih) lucu mengenai kemiripan perilaku bapak dan anaknya. Meniru perilaku gampanglah dibuat. Hewan lain bisa melakukannya dan bisa difoto juga. Kalau peri-nya hilang, persoalannya menjadi lain. Meniru laku itu lebih sulit. Jangankan meniru lakuwong mengerti arti laku saja sudah sulit.

Laku dalam kultur Jawa mungkin mirip dengan the way of proceeding, suatu cara bertindak secara tertentu. Nah, tertentunya itu yang bikin runyam: siapa yang bisa mengklaim diri orang paling Jawa, Batak, Sunda, Ambon, Flores, Papua, dan seterusnya? Haré géné sudah tak ada identitas murni seratus persen. Ini sudah saya singgung pada halaman Psikologi Campur Aduk. Tentu saja, itu tidak berarti bahwa kejawaan, kebatakan, kesundaan, dan lain-lainnya punah. Bahasanya mungkin bisa punah, tetapi roh yang menjiwai bahasa dan kulturnya itu tidak.

Salah satu hal yang saya petik dari kultur Jawa ialah kekuatan simboliknya, tak blak-blakan. Ini bukan soal kemunafikan, melainkan soal kontrol atas hidup yang memuat kenyataan yang tidak telanjang begitu saja. Saya ambil contoh kata waton. Kalau Anda mendengar ungkapan orang Jawa “waton omong” atau yang sedikit lebih kasar “waton njeplak”, Anda mengerti maksudnya: bicara jangan ngasal atau nggabener. Ironisnya, bicara yang tak asal-asalan itu dalam ungkapan Jawa berbunyi “omong nganggo waton”. Lha piyé jal, katanya jangan waton omong, tapi malah disuruh omong pakai waton! Rupanya, waton berarti juga bebatuan, sehingga bisa dipahami maksud nasihat itu: bicaralah dengan dasar yang kokoh seperti batu, tidak asal njeplak.

Dengan kata lain, laku mempertimbangkan dimensi yang tak kelihatan (dan justru karena tak kelihatan, orang Jawa senantiasa mencari, ngono ya ngono ning aja ngono, tak pernah berhenti pada satu capaian yang kasatmata). Kalau orang menjalankan laku, itu artinya ia memiliki ikhtiar tertentu dengan perilaku yang tidak biasa dijalani sehari-hari: berpuasa, menyepi, tirakatan, dan seterusnya. Orang yang menjalankan laku ini memiliki tatapan yang sifatnya transendental. Ini bukan perkara mencari pesugihan, kekayaan yang mengandalkan iman tuyul, kesuksesan yang memahkotai kejayaan fisik, melainkan menapaki hidup yang punya azas dan dasar yang menjamin kedalaman dan kebahagiaan hidup. Kalau orang tak memahami laku ini, ia tak melihat yang di balik perilaku.

Itu mengapa, dalam perspektif Jawa, para murid gagal memahami kata-kata Guru dari Nazareth “Siapa melihat aku, ia melihat Bapaku” atau “Siapa mengenal aku, dia mengenal Bapaku”. Mereka cari jalan pintas: sudahlah, tunjukkan Allah itu pada kami! Lha piyé menunjukkannya kalau bukan dengan laku yang dasarnya relasi dengan Allah itu? Like father like son jenis ini tak bisa dipotret, tapi terus dicari realisasinya dalam hidup orang beriman: panggungnya boleh apa saja, tapi balik layarnya mesti relasi pribadi orang dengan Allahnya. Kalau tidak begitu, virus corona merajalela baik di panggung maupun di jantung. Ambyar ora kowé, Son?

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami senantiasa terpaut pada-Mu dan tak dikacaukan hiruk pikuk urusan dunia kami. Amin.


SABTU PASKA IV
9 Mei 2020

Kis 13,44-52
Yoh 14,7-14

Posting 2019: Bukan Ingkar Nasi
Posting 2018: Finding God in All Things

Posting 2017: Plis, Jangan Mau Bodoh

Posting 2016: Iman Tidak Terima Jadi

Posting 2015: Shortcut to God

Posting
 2014: Akal versus Okol