Saya ingat secara samar-samar permainan anak-anak zaman Dilan masih SD dulu: pada hitungan ke-12, seluruh peserta mesti mematung. Kalau pada saat mematung itu, dengan alasan apa pun, ia masih bergerak, ia dinyatakan kalah. Ini permainan yang sangat jarang saya ikuti karena permainan yang gue banget adalah galasin, bentengan, gobak sodor [lha apa bedanya dengan galasin!], dan tentu sajak têpakan alias main badminton dengan raket triplek bergagang pendek.
Akan tetapi, hari ini saya tidak memetik pelajaran dari bentengan, gobak sodor, atau têpakan. Saya memetik hikmah dari permainan yang tidak gue banget tadi, justru karena itu tidak gue banget. Dulu tidak gue bangetnya karena itu cuma untuk lucu-lucuan. Sekarang tidak gue banget karena ya gak lucu amat umur hampir setengah abad begini main begituan.😝 Bukan itu saja sih alasannya.
Menurut Paus Fransiskus, kesetiaan iman justru mengimplikasikan gerak ke luar. Kalau teks hari ini dipertimbangkan, mengakui Guru dari Nazareth sebagai Jalan, Kebenaran, dan Hidup justru berarti menghidupi ketiganya itu dalam gerak, bukan dalam diam mematung seperti permainan yang gak gue banget tadi. Kesetiaan iman tidak pernah berarti kesetiaan pada bentuk, melainkan kesetiaan pada ‘isi’ iman itu sendiri yang bisa dikeluarkan dalam aneka ‘bentuk’. Bingung gak? Saya kasih contoh deh.
Misalnya, Anda bersumpah setia pada istri atau suami Anda, itu artinya Anda setia pada istri atau suami Anda, bukan pada hidungnya yang belang atau pada matanya yang keranjang. Nah, hidung itu kan bisa berubah sebagaimana mata, rambut, kulit, dan sebagainya. Itu semua termasuk yang saya sebut sebagai ‘bentuk’ tadi. Lha, kalau Anda sungguh bersumpah setia pada istri atau suami Anda, kesetiaan itu justru teruji ketika istri atau suami Anda mengalami perubahan ‘bentuk’. Kalau Anda tidak mau lagi terima istri atau suami Anda yang sekarang endhut, itu artinya Anda tidak setia. Bisa juga dibilang setia, tetapi bukan setia kepada istri atau suami, melainkan setia kepada kelangsingan, kecantikan, keperkasaan, kekayaan, dan seterusnya, yang merupakan ‘bentuk’.
Setia kepada ‘bentuk’ inilah yang dalam ranah agama disebut sebagai fundamentalisme. Benih-benih fundamentalisme ini dihidupi orang yang memelihara keyakinan monolitik: apa saja satu dan satu dimaknai secara kuantitatif belaka. Alhasil, orang ini ngotot dengan satu agama, satu kultur, satu bentuk.
Padahal, kesetiaan iman selalu berarti perubahan, pertumbuhan, perkembangan ‘bentuk’, bukan supaya seragam, melainkan supaya Yang Satu itu ternyatakan dalam ‘bentuk’ beragam. Maka, orang mestinya setia pada Yang Satu itu, bahkan meskipun menyatakan Diri dalam keragaman.
Pernyataan Guru dari Nazareth sebagai Jalan, Kebenaran, dan Hidup akan jadi paradoksal ketika ditangkap dengan modal patung tadi. Orang biasa bisa menalar bahwa pernyataan itu menempatkan Jalan, Kebenaran, dan Hidup sebagai isi pokok yang lebih penting. Artinya, itu lebih utama dan lebih luas daripada Guru dari Nazareth, Yesus historis itu. Maka, kalau dia mengatakan ‘Akulah Jalan, Kebenaran, dan Hidup’, kata ‘Aku’ di situ tidak lagi merujuk pada Yesus historis, melainkan pada Yesus yang melampaui historisitasnya. Oleh orang Kristen namanya disebut Yesus Kristus. Oleh yang non-Kristen tentu Jalan, Kebenaran, dan Hidup itu dirumuskan secara berbeda.
Kalau begitu, yang penting orang beriman menghidupi Jalan, Kebenaran, dan Hidupnya bukan dengan modal keyakinan agamanya adalah satu-satunya agama yang benar, gerejanya adalah satu-satunya gereja yang benar, pakaiannya adalah satu-satunya pakaian yang benar, ritualnya adalah satu-satunya ritual yang benar, melainkan dengan modal relasi batiniahnya dengan Dia yang layak disetiai, juga meskipun bentuknya bisa berubah-ubah.
Ya Allah, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami tidak terjerembab dalam aneka bentuk yang membatasi kehadiran-Mu. Amin.
JUMAT PASKA IV
17 Mei 2019
Posting 2018: Hidup Jalan Bener!
Posting 2017: You’ll Never Walk Alone
Posting 2016: Mau Ngapain Eaaa…
Posting 2015: Life as A Staircase
Posting 2014: Yesus Arogan Skale’
Categories: Daily Reflection