Bahkan jika semua orang melakukan korupsi tidak berarti bahwa korupsi itu bisa dibenarkan karena kebenaran tak berkorelasi dengan jumlah mayoritas. Kiranya Anda masih ingat dengan angka 58, misalnya. Ini bukan perkara kebenaran hidup, melainkan perkara kekuasaan, dan sangat mungkinlah bahwa kekuasaan yang terarah pada kebenaran hidup itu cenderung minoritas jumlahnya. Kisah perseteruan Elia dengan ratusan nabi Dewa Baal bisa jadi contohnya. Dua-duanya sebetulnya sedang rebutan kekuasaan religius. Elia punya nyali untuk berdiri seorang diri dalam keyakinannya akan Allah yang sejati, sedangkan ratusan nabi Baal mesti mendapat legitimasi dari sesama nabi dan rakyat banyak.
Apa mau dikata, dinamika seperti itu terus berulang dalam sejarah dan tak sedikit orang yang dalam dirinya tumbuh benih narkotika yang mengambil slogan “semua orang juga melakukannya” atau “yang lain juga begitu kok”. Dengan begitu, harga diri orang lebih ditentukan oleh apa kata orang daripada oleh apa kata hatinya sendiri. Padahal, nilai seorang pribadi, kebesaran jiwanya terletak pada tindakan yang didorong sungguh oleh hatinya.
Memang ini bukan perkara gampang. Dalam keterbatasan wawasan hidup, hati mengikuti perkembangan biologis, psikologis, sosiologis, dan logis-logis lainnya. Seorang anak disebut mengikuti dorongan hatinya jika ia tahu mana yang disenanginya dan mana yang tidak disenanginya. Setelah beranjak beberapa sentimeter, like-dislike itu sudah bermuatan wawasan lain dan bisa jadi dia tahu skala nilai dan arti pengorbanan atau askese. Singkatnya, dorongan hati tadi bukan lagi semata soal apa yang menyenangkan, melainkan juga apa yang lebih bernilai.
Jika unsur religius dimasukkan, perkaranya bisa mengulang dinamika si anak tadi: kehendak Allah bisa direduksi sebagai apa yang diperintahkan oleh agama atau bahkan apa menyenangkan pemuka agama. Jangan salah, saya tidak mengatakan bahwa perintah agama atau pemuka agama itu buruk, tetapi seperti dalam dinamika anak tadi, begitu juga dinamika orang beragama. Pemula dalam hidup keagamaan memang mulai dengan apa yang diperintahkan hukum agama: kewajiban yang harus dijalankan atau ditunaikan (dibikin tunai?). Akan tetapi, kalau dari awal beragama sampai matinya seperti itu, ia tak jauh berbeda dari nabi-nabi Dewa Baal tadi.
Guru dari Nazareth lebih realistis ketika mengatakan bahwa ia datang bukan untuk menghapus ajaran agama yang sudah ada, melainkan untuk menggenapinya. Penggenapan ini pasti bukan dalam level yang sama seperti ketika Anda membayar hutang atau menambahkan beberapa recehan untuk menebus barang di kasir. Ya mau nambahi apa lagi? Orang Yahudi sudah punya 613 ayat yang berisi perintah dan larangan; hampir setiap hari mesti ada satu perintah dan satu larangan! Mau digenapi sampai berapa, jal?
Ya sampai 614, Rom, biar genap.🤣
Penggenapan yang disodorkan Guru dari Nazareth tidak menunjukkan bahwa Hukum Taurat itu kurang satu ayat atau kelebihan tanda baca, tetapi merujuk pada realisasi ‘roh’ Hukum Taurat itu sendiri dalam diri orang beragama. Artinya, meskipun ayatnya berbunyi berhentilah pada saat lampu merah, Anda tetap merasa bebas untuk melanggarnya demi memberi jalan pada ambulans di belakang Anda. Begitulah kira-kira menggenapi hukum: bukan ayatnya yang dibela mati-matian, melainkan ‘roh’ di balik ayat-ayat itu. Dengan begitu, orang sambung dengan hati Allah yang dipatrikan dalam dirinya demi kemanusiaan sendiri.
Tuhan, semoga cinta-Mu dapat kami genapkan dalam tindakan konkret kami. Amin.
Rabu Biasa X A/2
10 Juni 2020
Rabu Biasa X B/2 2018: #2019gantisiapa
Rabu Biasa X C/2 2016: Kamu Jahat
Categories: Daily Reflection