Hidup Sampah

Semakin orang gampang bersumpah, semakin besar pula peluangnya mengumbar sampah. Memang ada mandat dari otoritas religius Yahudi bahwa Allah melarang orang bersumpah palsu, tetapi barangkali baik juga diselisik relevansi sumpah sendiri. Jangan-jangan nih ya, sumpah malah jadi indikator minimnya cinta dan saling percaya.

Ada cerita di wilayah Timur Tengah bagaimana orang sudah terbiasa menitipkan hewan ternak kepada tetangganya jika ia bepergian. Akan tetapi, tentu saja bisa terjadi ternak titipan itu sakit, mati, atau mungkin dicuri orang. Runyamnya, kalau tak ada saksi bahwa ternak titipan itu dicuri orang atau sakit bukan karena kesalahan si penerima titipan ternak ini, bagaimana ia bisa meyakinkan bahwa kejadiannya memang begitu, di luar kendali si penerima titipan? Dalam situasi itu, penerima hewan titipan akan bersumpah di hadapan Allah dan si pemilik hewan harus menerima sumpah itu: ia percaya bahwa yang dikatakan tetangganya memang betul begitu.

Di masa pembuangan, orang-orang ini tadi belajar dari kultur Babilonia. Mereka mulai mendengar dan melihat bagaimana orang bersumpah: demi langit, halilintar, Tutatis, Yupiter, kepala, dan sebagainya. Lama-kelamaan mereka pun mulai mengurangi kadar muatan sumpah mereka. Penuhi saja protokol atau rumusan sumpahnya, perkara isinya gak usah ambil pusing, toh bukan demi Allah. Pengurangan ini lambat laun juga merembet pada sumpah yang membawa nama Allah sendiri: di bawah Kitab Suci, orang masih bisa korupsi, melakukan fitnah, mengkhianati rakyat, dan seterusnya.

Yang seperti itu terjadi di seluruh penjuru karena rupanya saling percaya masih jadi pengandaian. Orang masih memercayai bahwa manusia adalah homo homini lupus (serigala bagi manusia lain), alih-alih homo homini socius (teman bagi manusia lain). Sumpah justru menunjukkan pengakuan bahwa kepercayaan dan kejujuran adalah barang mewah. Celakanya, itu dikonfirmasi pejabat yang melakukan kejahatan publik. Njuk apa bedanya sumpah dan sampah?

Komunitas Eseni (Qumran) memiliki karakter yang bertolak belakang dengan hidup masyarakat pada umumnya. Apa yang mereka katakan lebih kuat daripada sebuah sumpah demi apa pun karena mereka berintegritas. Seorang filsuf Yunani Kuno, Filone, yang hidup sezaman dengan Guru dari Nazareth di Aleksandria berpesan: kalau orang sudah belajar tulus pada kata-katanya, kata-kata itu sudah jadi sumpah. Guru dari Nazareth merumuskannya seturut yang dicatat dalam teks bacaan kedua hari ini: kalau memang ya katakan ya, kalau tidak katakan tidak, tambahannya datang dari yang jahat. Di luar itu, sumpah adalah sampah.

Kalau bersumpah demi Allah, mosok sampah sih, Rom? Justru itu problemnya: bukan perkara demi Allah atau demi yang lainnya, melainkan perkara integritas pribadi orangnya. Kata Aeschylus: it is not the oath that makes us believe the man, but the man the oath. Artinya, integritas pribadilah yang menentukan sumpah itu layak dipercaya, bukan sebaliknya. Kalau orang sudah jujur dengan kata-katanya, ia tak butuh legitimasi Allah, tak butuh pula memaksa orang lain untuk percaya karena kejujurannya itu sendiri adalah buah relasi intimnya dengan Allah. 

Selain itu, jangan-jangan nih ya, kalau orang ngotot dengan sumpah di hadapan Allah, ia punya konsep sesat bahwa Allah itu sosok pendendam dan penghukum yang akan intervensi dengan menyambar orang dengan petir jika orang bersumpah palsu. Adakah pejabat yang disumpah di bawah Kitab Suci dan terbukti melakukan korupsi itu disambar petir?

Tuhan, ajarilah kami untuk senantiasa berkomitmen pada cinta-Mu. Amin.  


SABTU BIASA X A/2
Pw S. Antonius Padua
13 Juni 2020

1Raj 19,19-21
Mat 5,33-37

Sabtu Biasa X B/2 2018: Hore Dapat SP3
Sabtu Biasa X A/2 2014: Pemimpin Yang Bekerja