Jangankan tenaga kesehatan yang mungkin makan ati lantaran perilaku masyarakat yang tak ambil pusing dengan virulensi covid-19, seorang nabi pun bisa mengalami kelelahan batin juga. Nabi Elia, dalam perseteruannya dengan keluarga raja Ahab, mengalami kegalauan dan hendak menyelamatkan dirinya dari dendam Ratu Izebel. Akan tetapi, ia berkeluh kesah kepada Allah dan maunya biar nyawanya diambil Allah saja karena ia merasa gagal. Allah tetap mengutus malaikat-Nya supaya Elia tetap makan dan bertenaga untuk melanjutkan perjalanan sampai akhirnya ia hendak mengurung diri di gua, sebagaimana dinarasikan dalam teks bacaan pertama hari ini.
Tadi malam kami kembali menonton aksi Liam Neeson dalam film The Commuter (2018), yang memerankan tokoh Michael MacCauley, eks polisi yang bekerja sebagai agen asuransi. Setelah dua puluh tahun bekerja dan kurang lima tahun lagi pensiun, ia di-PHK, dan hidupnya seakan runtuh sehingga bahkan ia tak bernyali untuk menyampaikan kondisi terbarunya ini kepada sang istri. Dalam keadaan ancur begitu, ia kecopetan. Hapenya raib. Dalam kereta itulah ia terjebak konspirasi jahat yang disodorkan oleh seorang wanita misterius untuk mencari penumpang yang akan dibunuh karena rupanya menjadi saksi kejahatan petinggi kepolisian.
Apa yang membuat Michael masuk dalam permainan konspirasi kejahatan ini? Tentu saja perkara duit, karena ia memang sedang mengalami kesulitan finansial. Apa yang memaksanya larut dalam agenda permainan konspirasi jahat itu? Kiranya keselamatan anak istrinyalah yang lebih utama daripada perkara duitnya sendiri. Menariknya, wanita misterius itu melakukan persuasi yang menyentuh kekuatan Michael sebagai eks polisi. Ia menantang Michael untuk menunjukkan tanggung jawabnya dengan masuk dalam konspirasi jahat ini. Klop sudah: kesulitan finansial dan kualifikasinya sebagai mantan polisi menggerakkannya untuk memenuhi tantangan itu.
Baik Michael maupun Nabi Elia memang sama-sama mengalami cape’ ati. Bedanya, Michael mengikuti insting survivalnya, sedangkan Nabi Elia mengikuti insting kematian. Akan tetapi, jelaslah dari kedua cerita hidup manusia itu, Allah senantiasa menuntun orang supaya setia mengikuti insting kehidupan selama anugerah hidup itu diterimanya. Insting kehidupan itu tak berpusat pada kalkulasi ekonomis atau politis, tetapi pada kemurnian hati yang tertambat pada kebenaran ilahi yang terus menerus mesti dicari orang sepanjang nafasnya.
Teks bacaan kedua hari ini bicara mengenai ‘zinah hati’ yang disodorkan untuk membuka mata orang pada pokok persoalan yang jauh lebih dalam daripada problem perceraian, konflik politik, perang, rasisme, dan sebagainya. Maksudnya lebih dalam bukan bahwa persoalan keluarga, politik, konspirasi itu tidak penting, melainkan bahwa seluruh persoalan tadi muncul justru dari ketidakmurnian hati, yang dalam paragraf ini dikatakan sebagai ‘zinah hati’. Ini bukan perkara suami-istri atau biarawan-biarawati belaka, sudah saya singgung kan soal kemurnian hati ini dalam posting Menjadi Homo yang lalu.
Nabi Elia, dalam cape’ atinya masih memelihara komitmennya pada Sabda Allah, sebagaimana Michael dalam kegalauannya masih memuliakan tanggung jawabnya pada anak istri. Kesetiaan pada kebenaran ini justru yang membuat Michael direkrut lagi dalam korps kepolisian. Kesetiaan pada Sabda Allah itu juga yang membuat Elia keluar dari gua persembunyian dirinya.
Tuhan, mohon rahmat kesetiaan pada kebenaran-Mu. Amin.
JUMAT BIASA X A/2
12 Juni 2020
Jumat Biasa X B/2 2018: Kemenangan Krisis
Jumat Biasa X C/2 2016: Gak Ada Tuhan dalam…
Jumat Biasa X A/2 2014: Ngapain Sih Berdoa Segala?
Categories: Daily Reflection