Ini sebuah kisah kecil, yang saya tak tahu lagi siapa pengarangnya, tetapi bisa dilihat versi cerita ulang James Baldwin mengenai Genghis Khan dan elangnya. Kisah ini saya pakai untuk memahami teks bacaan hari ini yang memuat ayat antara lain berbunyi begini. “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Kau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi engkau nyatakan kepada orang kecil.”
Saya sudah jenuh untuk menegaskan bahwa “orang pandai dan orang bijak” di situ bukan mereka yang hasil Tes Potensi Akademik (pascasarjana)nya hampir 850 (ebuset…) atau yang berjanggut dan beruban. Ini adalah perkara hati yang tertutup bagi cinta Allah, menjadi echo chamber, berpuas diri dan tak mau mendengarkan Yang Lain.
Uwis, Ma, gek ndang cerita rasah criwis!
Sepulang dari perang, Genghis Khan melatih elangnya untuk berburu bersama elang-elang para pembantunya. Elang-elang ini mengintai dari udara dan jika melihat rusa buruan tuan mereka, elang-elang ini mesti menukik tajam bak panah sehingga Genghis Khan dan pembantunya bisa mendekati mangsa. Sepertinya ini perburuan yang mengasikkan bagi mereka yang punya hobi berburu. Singkat cerita, Genghis Khan kehausan dalam perjalanan pulang. Elangnya sudah pergi mendahului, dan tahu jalan pulang.
Dalam kehausannya itu Genghis Khan mendapati tebing batu yang darinya menetes air. Tentu ada sumber air di atasnya, tetapi untuk memanjat ke sumber tetesan air itu rasanya lebih menguras energi daripada menampung tetesan airnya di situ.
Genghis Khan mengambil piala peraknya dan mulai menampung air yang menetes dari tebing. Ketika piala hampir penuh dan Genghis Khan hendak meminumnya, sekonyong-konyong terdengar suara mendesing di udara dan sesuatu menyambar pialanya dan tumpahlah air minumnya. Ternyata, elangnya sendiri menabrak pialanya itu, lalu terbang lagi berputar-putar di atas Genghis Khan. Sang Raja memungut pialanya dan menampung tetesan air dari tebing lagi. Kali ini lebih cepat tetesannya dan pialanya lebih cepat penuh. Akan tetapi, sekali lagi, begitu ia hendak meminumnya, elangnya menyambar piala itu sehingga tumpahlah semua air yang sudah ditampungnya.
Genghis Khan naik pitam. Ia mengambil pialanya lagi dan menadahi tetesan air, tetapi sebelum piala penuh, ia menarik pedangnya, berjaga-jaga kalau elangnya akan menabrak pialanya lagi. Benarlah, elang itu menukik hendak merebut piala, tetapi Genghis Khan menebas elangnya sendiri sehingga jatuh ke tanah, sekarat. Genghis Khan mendapatkan target kemarahannya, tetapi ternyata pialanya luput, jatuh ke lubang bebatuan dan tak terjangkau oleh tangannya. Genghis Khan mengabaikannya karena toh ia bisa memanjat ke sumber air di atas. Akan tetapi, ini bukan perkara gampang, semakin memanjat, semakin rasa hausnya menjadi-jadi.
Akhirnya, setelah tiba di atas, benarlah ditemukannya kubangan air tempat asal tetesan air di tebing tadi. Akan tetapi, rasa hausnya segera hilang karena dilihatnya di tengah kubangan air itu adalah bangkai ular berbisa yang paling mematikan. Sang Raja tertegun, teringat pada elang kesayangannya yang kiranya sudah mati di bawah sana.
Memang, Anda bisa mengambil pesan moral dari situ sebagaimana dipelajari Genghis Khan: I have learned a sad lesson today; and that is, never to do anything in anger. Anda bisa mengganti anger dengan aneka perasaan negatif lainnya: benci, iri, jengkel, cemburu, kesal, dan sebagainya. Akan tetapi, ya itu tadi, saya memakai cerita ini untuk mengerti bahwa keluhuran hidup dikuak justru oleh “orang kecil”, yang terbuka pada misteri yang lebih agung daripada tetesan air tebing Genghis Khan.
Tuhan, (h)ajarlah kami supaya hati kami sungguh suci seperti hati-Mu. Amin.
HARI RAYA HATI YESUS YANG MAHAKUDUS A/2
Jumat, 19 Juni 2020
Ul 7,6-11
1Yoh 4,7-16
Mat 11,25-30
Posting Tahun B/2 2017: Kisah Cinta-Ku
Posting Tahun A/2 2014: Hati Yesus Yang Mahakudus
Categories: Daily Reflection
Turut berduka cita….
LikeLike