Pedang Damai

Pada masa pandemi ini, apalagi yang mengalami PSBB, orang bisa menguji kadar kangennya pada pribadi-pribadi yang dekat di hati. Saya kira, seorang kakek/nenek lebih kangen pada cucu mungil mereka daripada kepada orang tua cucunya. Lha gimana lagi, saya juga lebih kangen pada keponakan mungil daripada orang tua saya atau orang tua keponakan saya sendiri.🤭 Mungkin kalau keponakan itu sudah tak mungil lagi, saya kangen pada keponakan orang lain lagi yang mungil.😂 Entahlah, barangkali begitu hukumnya: mungil nggemesin, besar nyebelin.

Akan tetapi, ini bukan perkara gemes sebel, melainkan perkara pandemi yang bisa berfungsi sebagai pedang pembawa damai. Loh, pedang kok isa membawa damai? Sedangkan pedang langit dan golok naga bikin perpecahan dalam trilogi Condor Heroes? Betul, tetapi perpecahan itu cuma konsekuensi, bukan fungsi pedangnya sendiri. Andaikanlah Anda berjualan pepaya dan pembeli meminta Anda membelah pepaya dengan pedang langit. Setelah pedang langit menunaikan tugasnya, ternyata pembeli tak berminat dengan pepaya yang Anda jual. Apakah tidak lakunya pepaya Anda itu karena pedang langit, yang tak membawa damai? Bukan begitu, kan ya?

Bukan, karena pedang di situ berfungsi untuk membelah pepaya, membuka pepaya yang semula hanya kelihatan kulitnya. Apakah konsekuensi pembelahan itu berupa damai atau perang, ada di luar tanggung jawab pedang. Maka dari itu, kalau teks bacaan hari ini bicara mengenai kedatangan Guru dari Nazareth sebagai pembawa pedang, alih-alih damai, tentu maksudnya merujuk pada fungsi pemilahannya. Bahwa terhadap pemilahan itu orang bisa mengalami damai atau tidak, bergantung pada orang yang bersangkutan.

Damai sejati tak terletak pada keinginan penjual pepaya untuk memaksakan dagangannya laku. Damai sejati juga tak terletak pada kakek/nenek yang memaksakan keinginannya untuk menimang cucunya tanpa protokol kesehatan pada masa PSBB. Damai sejati terletak pada kemampuan orang untuk memilah-milah, melakukan pembedaan (roh) terhadap aneka pilihan di hadapannya. Ikatan keluarga jelas bukan sesuatu yang negatif pada dirinya, sebagaimana tadi saya katakan bahwa saya lebih kangen pada keponakan mungil daripada simbok atau neneknya. Akan tetapi, kalau kenyataan yang baik ini dihidupi secara posesif dan lebay, jadinya malah kontraproduktif dan hidup orangnya sendiri tidak damai.

Pandemi ini benar-benar jadi seperti pedang bermata dua: mengundang orang untuk memilah-milah supaya first things first terwujud. Anda tidak perlu saya beri info, bukan, bahwa ada pedagang di pasar yang meskipun diberi fasilitas periksa kesehatan secara gratis dan tak mau menjalaninya karena khawatir dagangannya jadi tak laku jika ketahuan positif covid-19? Karena urusan ekonomis begini, orang bisa lupa bahwa dia tidak hidup sendirian pun jika hal buruk menimpa dirinya. Pandemi memberi kesempatan kepada orang beragama untuk memilah mana yang sungguh-sungguh sejalan dengan imannya dan mana yang merupakan kelekatan terhadap hal-hal yang sebetulnya cuma receh. Semakin sejalan dengan iman, pemilahan semakin membawa damai. 

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami dapat memilah benar-benar mana yang menuntun kami pada cinta-Mu dan mana yang berujung pada cinta diri kami. Amin.


SENIN BIASA XV A/2
13 Juli 2020

Yes 1,11-17
Mat 10,34-11,1

Senin Biasa XV B/2 2018: Incumbent Menang
Senin Biasa XV C/2 2016: Panggilan Gentho

Senin Biasa XV A/2 2014: Agama Konyol