Agama pada umumnya menyodorkan konsep surga-neraka, tetapi mungkin penganutnya kudet bin kurang update dalam memahami konsep itu. Akibatnya, konsep surga-neraka cuma berfungsi sebagai dampak menara pengawas panoptikon, yang membuat orang jadi takut berbuat dosa dan merasa wajib berbuat kebajikan. FYI, panoptikon itu penjara dengan latar filsafat Michel Foucault yang dipinjamnya dari arsitektur Jeremy Bentham: sel-sel napi melingkari menara pengawas di tengah-tengahnya. Cahaya dari menara pengawas dan dari luar penjara memungkinkan keadaan setiap sel terpantau dari tengah, dan para napi merasa gerak-gerik mereka diawasi secara permanen (bahkan pada saat penjaga di menara pengawasnya sedang main gaplé).
Begitu pula halnya dengan perkataan keras Guru dari Nazareth hari ini terhadap orang-orang Kohrazim dan Betsaida, bisa jadi ditangkap sebagai kutukan atau ancaman beliau bahwa mereka ini akan masuk neraka karena tak kunjung bertobat meskipun ada begitu banyak tanda mukjizat. Kalau Anda berpikir begitu, kemungkinan besar Anda tersesat oleh konsep dosa dan surga-neraka tadi. Kata tetangga saya di mancanegara, seruan ‘celakalah’ dalam bahasa Ibraninya berkonteks ratapan duka kematian, sebagaimana dalam beberapa kultur dilakukan ritual tangisan dalam upaca pemakaman. Ungkapan yang diserukan Guru dari Nazareth ini adalah ungkapan mereka yang meratap dengan menutupi kepala dengan tangan dan berteriak atas hal menyakitkan yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Maka dari itu, seruan Guru dari Nazareth itu tidak merujuk pada nasib mereka kelak, yang mungkin saja memang akan hancur, tetapi pada kenyataan bahwa mereka kehilangan kesempatan, sebagaimana sudah saya singgung dalam posting Kesempitan beberapa hari yang lalu. Kesempatan untuk apa? Kesempatan untuk mengalami kairos, mengalami kepenuhan hidup, menjalani pertobatan terus menerus, mengalami kebahagiaan yang sesungguhnya. Ini bukan perkara menerima doktrin agama, melainkan perkara menerima kekuasaan Allah dalam keseluruhan hidup manusia, di kedalaman hatinya. Halah, kalimat apa pula ini!
Mari kembali saja ke kalimat awal tadi: bukankah merasa takut berbuat dosa dan wajib menjalankan kebajikan itu sesuatu yang baik, Rom? Bukankah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya itu adalah mulia?
Tentu saja baik dan mulia menurut orang yang hidupnya kompulsif dan mengikuti saja apa kata orang dan kehilangan otonomi dirinya.
Lihatlah para narapidana dalam panoptikon tadi. Mereka bisa saja disiplin hidupnya dan tidak melakukan kesalahan, tetapi kehilangan otonomi, tidak mengalami kebebasan dan kedisiplinan yang sesungguhnya. Tidak menjadi diri sendiri. Mengenai ini saya tulis posting Disiplin Itu Gimana…
Semakin maju perkembangan iman seseorang, semakin ia memiliki otonomi di hadapan Allah. Artinya, semakin ia bebas melakukan pilihan-pilihan untuk semakin membuat hidupnya sinkron dengan kekuasaan Allah. Semakin maju hidup rohani seseorang, pilihan-pilihan itu semakin subtle tetapi bersamaan dengan itu, ia menjalaninya secara merdeka. Sebaliknya, mereka yang mengalami stagnasi, bahkan meskipun secara moral hidupnya baik, tak kunjung menemukan surga(-neraka) hidupnya dan kehilangan banyak kesempatan untuk menangkap aneka tanda mukjizat hidupnya sendiri sebagai rahmat yang tak ternilai. Betul manusia terbatas oleh hukum semesta, tetapi ia tetap bisa jadi otonom dan merdeka.
Tuhan, mohon keheningan batin supaya kami mampu menangkap mukjizat cinta-Mu dalam keribetan hidup kami nan receh ini. Amin.
SELASA BIASA XV A/2
14 Juli 2020
Selasa Biasa XV B/2 2018: Agen Ritual
Selasa Biasa XV C/2 2016: Susah Melihat Rahmat
Selasa Biasa XV A/2 2014: Kolektivitas Non-Partai
Categories: Daily Reflection