Dunia Makna

Ada falsafah yang mengatakan bahwa setiap orang punya keberuntungannya masing-masing. Setiap orang punya kerugiannya masing-masing. Akan tetapi, untung-rugi adalah label, sebagaimana bola masuk gawang pada permainan sepak bola disebut gol. Saya dan Anda terkungkung dalam dunia yang penuh dengan aneka label terhadap realitas. Sayangnya, tak sedikit orang terlekat pada aneka label ini sehingga realitas kehidupan sendiri malah tak terlihat secara jelas.

Saya baca cerita Tony de Mello mengenai seorang ayah yang hanya punya anak tunggal, laki-laki, yang membantunya di ladang. Tetangganya berkata bahwa ayah ini beruntung sekali punya anak laki-laki yang berbakti, tetapi sang ayah hanya berkata,”Nasib untung, nasib malang, siapa yang tahu?” Suatu kali anak ini mengalami kecelakaan sehingga tak bisa lagi membantu ayahnya di ladang. Tetangganya berkomentar bahwa ayah ini malang benar karena anaknya yang sakit tak bisa membantunya di ladang, dan ayah ini hanya berujar,”Untung atau malang, siapa tahu?”
Keesokan harinya, datang pengumuman dari perwira kerajaan bahwa semua pemuda yang sehat harus mengikuti wajib militer mulai hari itu juga. Sang tetangga berkomentar bahwa ayah ini bernasib untung karena anaknya yang sakit lolos dari wajib militer, dan sang ayah hanya berkata,”Untung atau malang, siapa tahu?”

Aneka label dalam hidup ini memang dibutuhkan sejauh membantu orang kontak dengan realitas kehidupannya. Dalam konteks hidup beriman, label untung-rugi tidak relevan lagi. Tidak hanya itu, sehat-sakit, kaya-miskin, gagal-sukses, tak punya relevansi bagi siapa saja yang hidupnya terbuka pada rahmat Allah dan mengandalkannya. Dengan kata lain, bagi orang yang sungguh beriman, dinamika kehidupannya adalah grafik naik-turun yang timbul akibat bagaimana umat manusia berelasi dengan Yang Ilahi.

Teks bacaan hari ini, yang adalah bagian dari wacana yang sudah dibahas dalam posting dua minggu lalu Ergonomic Faith, merujuk pada ungkapan syukur Guru dari Nazareth bahwa rahmat Allah itu ternyatakan dalam hidup orang kecil. Orang kecil di sini sama sekali tidak merujuk pada gelandangan atau anak-anak kecil, tetapi pada siapa saja yang memiliki keterbukaan pada rahmat Allah dan mengandalkannya tadi. Orang kecil seperti ini tidak terlalu ambil pusing dengan label, tetapi sungguh hidup dalam gerakan untuk senantiasa memaknai hidupnya dalam genggaman rahmat Allah. Orang kecil begini ini tidak lagi ribet dengan dunia penampilan, tetapi dalam penampilannya ia senantiasa mencari kehendak Allah bagi hidupnya. Ia tidak lagi hidup dalam dunia label, tetapi dunia makna yang terhubung dengan kehendak Allah tadi.

Sebaliknya, orang bijak-pandai dalam teks bacaan hari ini adalah representasi orang yang tak peduli lagi pada dunia makna. Karena itu, label, atribut, penampilan, semuanya terarah pada pemenuhan aktualisasi dirinya sendiri lebih daripada sarana untuk menguak makna kehidupan sebagai rahmat bagi diri dan sesamanya. Aktualisasi diri berjalan seiring dengan label atau atribut yang di mata orang lain bernuansa sukses, untung, berhasil, berkuasa, dan sejenisnya. Logisnya, yang berlawanan dengan kesuksesan, keuntungan, kekuasaan, sekuat mungkin dihindarinya.

Ya Allah, mohon rahmat keterbukaan hati dan budi supaya kami dapat memaknai suka-duka hidup kami sebagai jalan pemurnian untuk semakin mengenal-Mu. Amin.


RABU BIASA XV A/2
Pw S. Bonaventura
15 Juli 2020

Yes 10,5-7.13-16
Mat 11,25-27

Rabu Biasa XV B/2 2018: Kehebatan Terlupakan
Rabu Biasa XV C/2 2016: Pokémon Go: Playing Truth
Rabu Biasa XV A/2 2014: Kaum Bijak-Pandai Celaka

2 replies

  1. penderitaan yang dialami bukan otomatis jaminan kebenaran. bila pendasaran eksistensi manusia semata2 didasarkan pada iman, maka bisa berakibat fatal pada pemahaman situasi secara membabi buta akan Kebenaran tertinggi, tanpa bukti selain dari perasaan dan intuisi dari kaum beriman.

    Like