Kesempitan

Atas jasa Immanuel Kant, kita tahu bahwa ruang-waktu adalah struktur formal dalam pengindraan. Adanya bukan ‘di luar sana’, melainkan ‘di dalam sini’. Mungkin bisa dianalogikan seperti kacamata baca, yang membuat daripada pembaca bisa membacakan bacaan yang dibaca oleh pembaca daripada yang membacanya. Bingung ga’? Bingung? Sama dong.
Akibat struktur formal pengindraan itu, kata ‘dekat’ mestilah diasosiasikan dengan perkara jarak dan kata ‘cepat’ dengan tempo. Andaikanlah Anda bertanya di mana rumah Pak èRTé, tentu orang waras tak akan menjawabnya,”Masih lama.”

Begitu pula, kalau Guru dari Nazareth itu mengatakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat, lumrahlah orang menangkap ‘dekat’ sebagai keterangan tentang jarak dan mungkin konsekuensinyanya menangkapnya sebagai petunjuk bahwa waktunya jadi ‘cepat’ atau ‘singkat’. Tentu saja, Guru dari Nazareth tidak sedang membahas Kerajaan Allah sebagai objek lokasi dalam peta yang berjarak dekat dan bisa ditempuh dalam tempo singkat. Immanuel Kant, saya yakin, sadar akan hal ini, dan syukurlah ia memaparkan pula cara berpikir lainnya yang tidak hanya mengandalkan kategori formal ‘ruang-waktu’ tadi.

Mungkin memang istilah Kerajaan Allah yang dipakai Guru dari Nazareth itu malah bisa menyesatkan pendengarnya karena kategori formal ‘ruang-waktu’ tadi. Dalam hal ini, istilah ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan islami alias persaudaraan yang dibangun atas dasar nilai-nilai atau ‘roh’ islami) lebih bebas dari keterbatasan kategori formal ‘ruang-waktu’. Pada kenyataannya, nilai-nilai islami memang bisa dinyatakan lintas ‘ruang-waktu’, dari Sabang sampai Merauke, sejak dulu sampai selama-lamanya amin.

Tentu saja, meskipun Guru dari Nazareth tidak belajar filsafat dari Immanuel Kant, beliau memang tidak memaksudkan Kerajaan Allah itu sebagai objek indrawi yang mesti diolah dengan rasio semata. Kata ‘dekat’ tidak hanya diasosiasikan dengan jarak pendek dan waktu singkat, tetapi juga dengan pengertian sebagai potensi yang sewaktu-waktu bisa menjadi aksi. Kalau begitu, Kerajaan Allah yang sudah dekat itu seumpama gelato (bacanya jelato, Mba’) di atas meja dalam jangkauan tangan Anda yang sewaktu-waktu bisa Anda ambil kalau Anda mau mengambilnya. Poinnya bukan bahwa Kerajaan Allah itu seperti gelato, melainkan bahwa Kerajaan Allah itu bagaikan kesempatan yang dapat diambil atau diabaikan orang.

Istilah teknis untuk kesempatan ini ialah kairos, yang merujuk pada momen kualitatif ketika orang sungguh klik atau klop dengan, misalnya, ukhuwwah islamiyyah yang tak lagi semata diukur dengan kategori indrawi (tampilan) dan rasio (argumentasi), tetapi juga dengan relasi (mistik) dengan Allahnya yang gue banget. Relasi ini, percayalah pada saya, sangat membebaskan. Itu mengapa dalam teks bacaan hari ini disampaikan pesan Guru dari Nazareth kepada murid-murid yang dimintanya memberikan kesaksian kolektif. Mereka dibebaskan dari aneka beban yang tak relevan dengan pengalaman relasi intim dengan Allah yang gue banget tadi.

Dalam keadaan seperti itu, orang beragama menghidupi kesempatan emas untuk menyatakan pengalaman personalnya dengan Allah tanpa ribet dengan kategori indrawi dan rasio tadi. Tentu saja, pada kenyataannya tak banyaklah orang beragama yang menghidupi kesempatan emas macam itu, dan karena kategori fisik dan rasio begitu penting bagi mereka, kesempatan menjadi kesempitan.
Tuhan, mohon rahmat supaya hari ini juga menjadi kesempatan yang kami raih untuk memuliakan nama-Mu. Amin.


KAMIS BIASA XIV A/2
9 Juli 2020

Hos 11,1.3-4.8c-9
Mat 10,7-15

Kamis Biasa XIV A/1 2017: Sini Pergi
Kamis Biasa XIV C/2 2016: Konduktor atau Resistor
Kamis Biasa XIV B/1 2015: Allah Tidak Eksklusif
Kamis Biasa XIV A/2 2014: Don’t Burden Yourself