Senior saya menulis refleksi intelektualnya di majalah kebudayaan Basis dengan judul novel Leo Tolstoy War and Peace, Perang dan Damai. Dalam perang ada damai, dalam damai ada perang. Kira-kira begitulah maksud saya, bukan maksud mereka.🤭 Meskipun demikian, topik yang dibahas senior saya itu cocok dengan teks bacaan hari ini tentang gandum dan ilalang. Cocoknya di mana ya silakan cari sendiri ya. Saya mau cerita tentang latar belakang kitab yang dibacakan hari ini saja deh.
Mulai dari kesimpulan. Jadi begini. Teks ini ditulis oleh seorang rabi Yahudi di Antiokhia Siria (yang sekarang ada di wilayah Turki) sekitar lima puluh tahun setelah Guru dari Nazareth tiada. Konon Antiokhia inilah the cradle of Christianity dan jumlah anggota komunitas Yahudi-Kristen di sana relatif begitu besar. Nah, mereka mendesak rabi Yahudi ini untuk menjelaskan apa maksud Guru dari Nazareth yang katanya mau membangun dunia baru alias Kerajaan Allah, kok jebulnya dunia lama ya masih berkeliaran tuh? Katanya new normal, tapi kok yang old masih idup? Kenapa kok kejahatan itu ya terus aja ada dan malah rasanya makin mengancam kebaikan? Apa Kerajaan Allah itu bukan cuman isapan kelingking?
Pertanyaan itu jelas bukan pertanyaan eksklusif orang Yahudi-Kristen di Antiokhia Siria zaman kekunoan, melainkan juga pertanyaan orang non-Yahudi non-Kristen di non-Antiokhia non-Siria kekinian. Katanya agama welas asih, kok pengikutnya terlibat pembunuhan massal? Katanya agama kejujuran, kok pengikutnya koruptor? Katanya agama rahmat universal, kok pengikutnya rasis? Katanya agama jalan keselamatan, kok pengikutnya cari kecelakaan dengan menyambut penularan covid-19 dengan tangan lebar?
Lah, Rom, itu kan human error, bukan karena agamanya.
Haiya itu persis persoalan yang mau digugat komunitas Yahudi-Kristen tadi: bukankah seharusnya sekumpulan human error tadi dimusnahkan saja? Diekskomunikasi begitu?
Memang ada pendulum pendekatan terhadap problem kemurnian, kesucian, kesejatian identitas religius seperti ini. Yang satu adalah pendekatan garis keras nan intoleran: ngebut benjut, nekat tamat, ngèyèl mèdhèl! Yang satunya pendekatan garis lunak: biar waktu yang membuktikan [padahal belum baca Sein und Zeitnya Martin Heidegger, kalau sudah baca pun, belum tentu juga mengerti], harus sabar terhadap human error tadi. Pendekatan pertama direpresentasikan oleh kaum Farisi yang begitu arogan menganggap orang lain sampah dan kaum Eseni yang memilih menyingkir dari masyarakat umumnya supaya kemurnian agamanya tak terkontaminasi. Jangan lupa, penggemar Santo Paulus, beliau juga punya benih pendekatan garis keras itu. Silakan lihat teks 1Kor 5,1-13. Pendekatan kedua sebegitu toleran sehingga yang intoleran pun mendapat toleransi. Piyé jal?
Di antara kedua pendekatan itu sesungguhnya ada posisi lain yang kiranya lebih melegakan sekaligus berdaya guna. Ya apa lagi kalau bukan judul novel tadi: war and peace. Perumpamaan-perumpamaan yang disodorkan Guru dari Nazareth memberikan beberapa kata kunci penting untuk membongkar misteri kehidupan ilahi. Kejahatan tak dicipta Allah, tetapi muncul akibat ulah ciptaan-Nya sendiri yang, seperti disinggung kemarin, merancang di tempat tidur atau yang terjadi pada saat terlena. Kejahatan itu pada awalnya bisa tampak baik justru karena adanya bersama kebaikan. Maka, sikap keras intoleran malah bisa menghancurkan kebaikan sendiri.
Kalau begitu, lebih baik berdamai dengan kejahatan itu, bukan dalam arti membiarkannya meratulela, melainkan mewaspadainya sehingga orang bisa membedakan mana yang sungguh baik dari yang tampaknya baik. Ranah baik buruk ini tidak ada ‘di luar sana’, tetapi ‘di dalam sini’. Jadi, yang penting orang terus mawas diri supaya ragi kebaikannya secara klandestin memberi pengaruh besar sampai pada hari panen kelak.
Tuhan, ajarilah kami menemukan jalan bertumbuh dalam cinta-Mu di tengah aneka pilihan yang kami hadapi. Amin.
MINGGU BIASA XVI A/2
19 Juli 2020
Keb 12,13.16-19
Rm 8,26-27
Mat 13,24-43
Posting Tahun 2017: Kurang Satu Strip…
Posting Tahun 2014: Just Do Your Job
Categories: Daily Reflection