Siapakah orang yang merencanakan kejahatan di tempat tidurnya? Bisa jadi Anda dan saya, karena pada dasarnya Anda dan saya bukanlah orang jahat. Akan tetapi, bisa jadi Anda khilaf (lha kok saya enggak?🤭) sehingga rencana kejahatan itu baru ketahuan belakangan setelah semua terjadi. Jadi, begitu saja ya saya tafsirkan teks bacaan pertama hari ini. Soalnya ribet juga kalau merencanakan kejahatan di tempat tidur, malah gak tidur-tidur jadinya. Lagian, apa gada tempat lain gitu untuk merencanakan kejahatan? Di gedung dewan, misalnya, atau di kafe, atau di mana gitulah.
Dalam teks bacaan kedua dinyatakan dengan jelas bagaimana orang-orang Farisi bersekongkol untuk membunuh Guru dari Nazareth. Itu juga pasti bukan di tempat tidur, tetapi dalam keadaan ‘tidur’ alias tidak sadar apa yang mereka lakukan. Ini klop dengan doa pengampunan yang diucapkan Guru dari Nazareth pada saat sakratul mautnya: ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.
Menariknya, dan mungkin ini yang banyak ditentang orang, cara Guru dari Nazareth menghadapi orang-orang yang tidak sadar diri ini ialah menyingkir dari pertemuan frontal. Apakah beliau takut sehingga menyingkiri orang-orang yang bersekongkol untuk membunuhnya?
Saya ingat nasihat Ip Man kepada muridnya yang bertanya apa yang harus mereka lakukan jika menghadapi lawan yang jumlahnya lebih dari sepuluh. Jawabannya bukan teknik atau jurus kungfu tertentu, melainkan “Lari!”. Maksudnya, menyingkir dari mereka.
Nasihat itu juga kiranya baik bagi Anda ketika berhadapan dengan orang mabuk atau orang gila, yaitu mereka yang perilakunya dikendalikan oleh alam bawah sadar yang begitu kuat sehingga mereka berkeyakinan bahwa yang mereka lakukan itu benar. Kalau Anda tidak menyingkir dan meladeni mereka secara frontal, bisa jadi Anda ikut-ikutan mabuk atau gila. Yang waras mengalah. Itu prinsip yang ditularkan nenek moyang saya.
Lah, kalau kewarasan malah mengalah, gimana bisa menyingkirkan ketidakwarasan dong, Rom?
Mari lihat siapa mereka yang dalam perseteruan antara orang-orang Farisi dan Guru dari Nazareth itu menjatuhkan pilihan untuk mengikuti Guru dari Nazareth: mereka yang tersingkir, yang suaranya tak didengar, yang tak punya kekuasaan politis-ekonomis, yang sakit, dan sejenisnya. Dengan begitu, jelas juga bahwa pilihan Guru dari Nazareth bukan jalan berbantah-bantahan dengan pemuka agama, bukan juga jalan berteriak-teriak menyuarakan kebenarannya, melainkan jalan senyap yang menyentuh kaum lemah. Guru dari Nazareth, meskipun menyuarakan kebenaran, tidak punya kebutuhan untuk didengarkan, disetujui, atau dihargai.
Sampai di situ, kalau Anda mau merenung, mungkin bisa juga diamati bagaimana orang-orang sederhana bekerja secara senyap tanpa minta penghargaan: para perawat, tenaga medis, juru kunci kuburan, karyawan cleaning service, dan seterusnya. Ini saya kontraskan dengan mereka yang ngotot membuka peti jenazah covid-19, yang mau menyatakan kepada dunia bahwa keyakinan mereka harus didengarkan dan diakui. Terhadap jenis begini ini, saya dengar nasihat nenek moyang dan Ip Man serta Guru dari Nazareth tadi: menyingkir saja dari sana.
Tuhan, mohon rahmat kerendahhatian supaya kami semakin mengerti rahasia jalan kebenaran-Mu. Amin.
SABTU BIASA XV A/2
18 Juli 2020
Sabtu Biasa XV B/2 2018: Kawin Campur
Sabtu Biasa XV C/2 2016: Aku Cinta (Papua)
Sabtu Biasa XV A/2 2014: Working Evil
Categories: Daily Reflection