Rasionalitas Iman

Kata tetangga jauh saya, iman adalah bisnis hati, keterlibatan hidup total seseorang, suatu senyuman jiwa, yang lebih mirip dengan peristiwa jatuh cinta daripada argumentasi ilmiah. Anda mungkin akan sewot kalau melihat pasangan beauty and the beast, apalagi kalau Anda merasa diri lebih cantik atau lebih tampan dari the beastnya.😂 Apa daya, kata Blaise Pascal, the heart has its reasons which reason knows nothing of… We know the truth not only by the reason, but by the heart. 

Tentu, menganalogikan iman dengan jatuh cinta hanya menunjuk satu dimensinya, suatu eros yang menggerakkan orang untuk mendekat pada yang dijatuhinya cinta. Kalau jatuh cinta cuma jadi manifestasi eros, ia akan menuntut kedekatan dan sentuhan fisik, menjadi infatuation bin kasmaran yang menanggalkan rasio sama sekali. Dengan pernyataannya itu Blaise Pascal tidak hendak menyatakan bahwa iman tak mengenal rasionalitas sama sekali. Kebenaran iman tetaplah mencari rasionalitas, tetapi hati (yang bukan sekadar perasaan) mengiringi.

Saya dulu pernah bagikan pengalaman ketika bersama sahabat perempuan saya makan di foodcourt suatu mal di bilangan Jakarta Barat. Pengunjungnya banyak sekali, ya karena memang itu jam makan siang. Mata saya tertambat pada pasangan anak muda yang kiranya sedang kasmaran. Mereka berkeliling melihat-lihat menu di fooodcourt bergandengan tangan. Ceria dan mesra banget deh pokoknya [tapi kok ya saya gak iri gituloh, padahal mereka itu…]🤭 Setelah beberapa saat saya mengatakan pada sahabat saya untuk antre memesankan makan sementara saya mencari tempat duduk.

Tidak mudah menemukan tempat duduk untuk dua orang, tetapi akhirnya saya menemukannya. Setelah duduk, mata saya mencari-cari pasangan ceria mesra tadi dan saya lihat mereka antre berdua masih ceria mesra juga. Sekitar seperempat jam sahabat saya datang dan mata saya masih juga tak lepas dari anak-anak muda ceria mesra tadi. Di sela-sela obrolan kami, saya lihat mereka sudah mendapatkan apa yang mereka pesan, tetapi mereka hanya bisa berdiri membawa nampan makanan. Wajah mereka sudah tidak ceria seperti sebelumnya. Mereka cemberut melihat-lihat kalau ada tempat duduk bagi mereka. Setelah kami selesai makan, tampaknya mereka baru mendapatkan tempat duduk, tetapi keceriaan dan kemesraan telanjur absen dalam makan bersama mereka.

Pertentangan Guru dari Nazareth dan pemuka agama Yahudi saat itu dalam arti tertentu adalah pertentangan tafsir atas kehidupan. Bagi pemuka agama saat itu, norma agama adalah kodifikasi nilai. Maka, mereka mesti menaati norma itu. Guru dari Nazareth tidak menentang ketaatan seperti itu, tetapi beliau tidak membalik logikanya sehingga seakan-akan nilai itu mestilah menghasilkan norma seperti mereka hidupi selama itu. Pemuka agama saat itu tak bisa melihat dengan cara lain sehingga norma disamakan dengan nilai mutlak, yang harus ditaati no matter what.

Orang beriman mampu menghidupi norma agama secara relatif terhadap nilai yang lebih universal daripada norma agama. Rasionalitas dibutuhkan juga. Kalau tidak, bahkan mungkin jenazah covid-19 tak tenang di tempat peristirahatannya karena orang-orang di sekelilingnya terus bertengkar soal cara pemakaman.

Ya Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati dan budi mempertanggungjawabkan iman kami juga dengan rasionalitas. Amin.


JUMAT BIASA XV A/2
17 Juli 2020

Yes 38,1-6.21-22.7-8
Mat 12,1-8

Jumat Biasa XV B/2 2018: Hobi Konflik
Jumat Biasa XV C/2 2016: Koin untuk Apa?
Jumat Biasa XV A/2 2014: Andaikan Besok Aku Mati

1 reply