Beberapa hari lalu saya ke pusat perbelanjaan alat elektronik dan komputer. Dari sekian orang yang masuk ke gedung itu, setelah satu orang selesai cuci tangan gratis, hanya saya yang mencuci tangan. Yang lainnya bludhas-bludhus gitu aja. Padahal, kalau di situ bisa renang pun, saya mau aja renang di situ saking puanasé. Setelah saya keluar gedung dan bersiap-siap keluar dari parkiran motor pun saya amati tempat cuci tangan gratis itu benar-benar dicuèkkan.
Di tengah jalan pulang, saya bertanya-tanya apa memang segala yang gratis di bumi ini dianggap tak berharga ya? Padahal, Sang Pencipta ini mencipta semesta secara cuma-cuma; jangan-jangan memang tak ada harganya🤔…
Di pinggir jalan pulang, saya berefleksi: apa cuma satu orang dan saya yang cuci tangan gratis ini ya yang kurang memercayakan hidup kepada Allah pada masa pandemi ini?
Teks bacaan hari ini bicara mengenai tanda, dan kisah Paddy sudah sedemikian klise untuk masa pandemi ini (itu loh yang di masa banjir mengungsi ke atas rumah tak mau dibantu siapa-siapa karena hanya mau mengandalkan Tuhan, dan kemudian mati, tetapi menyalahkan Tuhan yang tak datang membantu). Saya membaca teks ini dengan bingkai pertanyaan di tengah dan pinggir jalan pulang tadi: kurang tanda apakah dari Allah sehingga orang-orang itu masih menuntut suatu tanda? Apakah memang persoalannya ada pada tandanya atau pada sesuatu yang lain? Dalam teks bacaan pertama juga sudah dipertanyakan: semua yang baik dan diperlukan manusia sudah disampaikan, njuk dari manusia ‘cuma’ dibutuhkan suatu new normal berupa laku adil, setia, rendah hati. Apa lagi sih yang dituntut Tuhan dari manusia?
Janjané alias sebetulnya ya gak ada, wong Dialah hakim atas manusia, mau menuntut manusia ke siapa jal? Ini malah adanya manusia yang menuntut Tuhan, yang sebetulnya juga omong kosong, mau menuntut Tuhan ke siapa coba?
Ah, Romo ini bisa aja, maksudnya menuntut tuh ya mendesak, memaksa gituloh.
Nah, Anda itu tidak bisa hanya, lha wong Allah saja tak pernah memaksa: mau cuci tangan gratis ya situ, mau kumpul-kumpul di zona merah ya situ, mau bongkar peti jenazah covid-19 ya situ. Untuk melakukannya tidak diperlukan tanda atau mukjizat. Ini cuma soal kepercayaan dan tekad berubay kok…. loh kumat lagi nih kibor saya. Berubay… berubay… berubay.
Pertanyaan untuk dipertimbangkan: apakah orang beriman butuh tanda, mukjizat, bukti akan eksistensi Allah? Tidak, kan? Lha ngapain, wong sudah percaya! Allah ada di mana-mana, dan dengan demikian, mukjizat-Nya juga ada di hadapan mereka yang mau melihatnya. Acuan Guru dari Nazareth terhadap tanda Yunus, boleh saja oleh orang Kristen ditafsirkan sebagai gambaran wafat dan kebangkitannya, tetapi itu kan ideologi agama Kristen. Kisah Yunus itu perkara ganti arah hidup seseorang di hadapan Allah. Allah maunya ke mana, Yunus larinya ke mana; akhirnya ia mengubay juga hidupnya… wah, kibor saya ikut berubay. Kibor kentang.🤣
Ini bukan perkara orang harus cuci tangan gratis seperti saya, melainkan soal perlunya mawas diri untuk berubay, bahkan meskipun tak perlu lebay.
Tuhan, mohon rahmat untuk melihat eksistensi-Mu di mana pun kami berada. Amin.
SENIN BIASA XVI A/2
20 Juli 2020
Senin Biasa XVI B/2 2018: Lompatlah, Nak
Senin Biasa XVI C/2 2016: Takhayul Bego’
Senin Biasa XVI A/2 2014: Permintaan Kurang Ajar
Categories: Daily Reflection