Kata Orang

Beberapa waktu lalu saya memberi nuansa negatif pada hidup seturut ‘apa kata orang’. Negatifnya dari perspektif otonomi seorang pribadi manusia. Orang yang tidak memiliki otonomi itu hidupnya jadi heteronom, semua ditentukan oleh ‘apa kata orang’ tadi. Dia tak bisa melakukan internalisasi nilai dari luar sehingga semua jadi perkara kewajiban, soal kompulsi belaka. Hari ini saya beri nuansa positif pada hidup seturut ‘apa kata orang’. Kok isaLha ya isalah, apa sih yang gak isa untuk Anda?🤭

Orang itu kan gak cuma segelintir jenisnya. Ada yang berkuncir, berkincir, suka melintir, gemar tergelincir, ngacir, mencibir sampai kenthir, atau nyinyir, nyindir dengan bibir, dan bir-bir lainnya. Mosok dari sekian itu jelek semua sih? Jadi gak apa toh hidup seturut ‘apa kata orang’ kalau kata-kata orang itu sendiri baik? Lagipula, yang paling penting, bukankah Anda sendiri orang? Mosok hidup menurut apa kata Anda sendiri itu negatif? Enggak, kan?
Enggak, Rom.
Wuih, pédé banget. Padahal, ya bergantung pada kata Anda itu bagaimana toh ya.🤣

Saya punya resep untuk menjaga supaya ‘kata orang’ itu tidak menyesatkan. Pertama, integritas: kata dan perbuatannya sambung secara harmonis, sekurang-kurangnya tidak kontradiktif karena teruji oleh tindakan penuturnya. Terhadap kata-kata orang yang punya integritas, orang akan dengan sendirinya mendekatkan diri tanpa dipaksa. Guru dari Nazareth adalah salah satu pribadi yang berintegritas, dan karena itu, pantas diikuti kata-katanya. Di bumi ini pasti ada pribadi lain yang punya integritas. Dengarkan dan ikuti saja apa kata mereka itu; itu sudah satu modal orang tak tersesat.

Kedua, transenden. Artinya, melampaui, melewati, mengatasi pribadi mereka yang bersangkutan. Orang seperti Guru dari Nazareth tadi, kata-katanya layak didengarkan juga karena hal yang disampaikannya menunjuk pada hal yang mengatasi dirinya sendiri. Pada kenyataannya, yang kerap dipakai adalah tolok ukur yang berhenti pada kata diri sendiri. “Kalau kamu tak mau mendengarkan aku, kamu-aku end!”
Mari lihat teks bacaan hari ini yang memberikan kriteria siapa yang menjadi saudara-saudari dan ayah-ibunya: bukan mereka yang melakukan keinginannya (keinginan Guru dari Nazareth itu), melainkan mereka yang melakukan kehendak Allahnya. 

Begitulah kiranya relasi persaudaraan yang hendak dibangun Guru dari Nazareth. Ia tidak mengatakan,”Kamu jadi saudaraku jika melakukan kehendakku” melainkan,”Kamu jadi saudaraku jika melakukan kehendak Bapaku.” Tentu yang dimaksud ialah kehendak Allahnya. Allah beliau itu ya Allah saya dan Anda juga, wong Allah itu esa. Anda boleh berpikir A dan saya berpikir B, tetapi jika kehendak Allah adalah C lalu Anda dan saya menangkap C, tak usah ambil pusing dengan A dan B tadi (sehingga malah bisa jadi merasa benar sendiri karena pikirannya klop dengan C).

Jadi, kalau integritas mengacu pada sinkronnya kata dan perbuatan, transendensi merujuk pada isi katanya: bukan pada kepentingan egoisnya (yang dia maui), melainkan pada kepentingan ilahi (yang dimaui Allah). Kalau dua hal itu terpenuhi dalam diri seseorang, Anda bisa mengikuti pribadi seperti itu bahkan sampai kiamat. Tanpa integritas, Anda bisa kehilangan respek. Tanpa transendensi, Anda bisa kehilangan kredibilitas.

Tuhan, mohon rahmat untuk bersama sesama menemukan dan melaksanakan kehendak-Mu. Amin.


SELASA BIASA XVI A/2
21 Juli 2020

Mi 7,14-15.18-20
Mat 12,46-50

Selasa Biasa XVI B/2 2018: Torang Samua Basudara
Selasa Biasa XVI C/2 2016: Susah Ya Mendengarkan?