Masbro Mbaksis

Kemarin tidak saya sampaikan asumsi di balik kekerasan: orang menganggap diri sebagai pusat dunia, merasa diri lebih besar, aktor penting, lebih utama daripada makhluk lainnya. Makhluk lain hanyalah pemain latar yang boleh diabaikan, dibungkam, ditundukkan demi realisasi kepentingan dirinya. Bahkan kalau orang seperti ini jadi pagar, ia malah memakan juga tanaman yang dipagarinya. [Mengenai peribahasa ini ada catatan bahwa yang bisa makan tanaman bukanlah pagar, melainkan burung/ayam pegar, yang tampilannya anggun, tapi merusak tanaman. Tautannya ada di sini. Saya ikut yang salah kaprah saja, karena almari atau meja yang besar pun bisa makan tempat meskipun tak bermulut.]

Kekerasan memanifestasikan cinta diri, yang baru dapat dihentikan jika yang bersangkutan mengambil disposisi seperti anak kecil: aku bukan siapa-siapa, tetapi yakin dan percaya bahwa ada yang mengambil tanggung jawabnya juga atas hidupku.
Lha gimana, Rom, orang dewasa yang mesti bertanggung jawab atas hidupnya sendiri kok malah diminta memercayai dan meyakini hidupnya jadi tanggung jawab pihak lain?
Ya justru itu poin lebihnya orang beriman: bertanggung jawab atas hidupnya sendiri dalam keyakinan bahwa hidupnya terlindungi Dia yang diimaninya.

Anak kecil meletakkan keyakinannya pada tanggung jawab pihak lain karena memang belum punya kemampuan untuk mengambil tanggung jawab sendiri. Orang dewasa punya kemampuan untuk mengambil tanggung jawab itu, tetapi kalau tidak lalai ya kěbablasěn mengandalkan kemampuannya sendiri. Orang dewasa beriman berada di antara kedua kutub itu. Nah, karena beriman itu juga dinamis, bisa jadi orang jatuh dalam salah satu kutubnya. Dalam konteks itulah teks bacaan hari ini relevan: bagaimana kalau salah seorang anggota komunitas merasa diri sebagai pusat dunia, benar sendiri, penting sendiri, ambil keputusan sendiri, dan ternyata celaka sendiri, bahkan mungkin mencelakai orang lainnya.

Ini tak mudah. Kesulitannya bukan semata untuk mendobrak mentalitas “silence and secrecy”, melainkan karena relasi sejati antarpribadi senantiasa bersifat timbal balik. Kalau Anda menegur orang lain sebagai saudara, tetapi yang bersangkutan tidak memperlakukan Anda sebagai saudara, perkaranya jadi sulit. Jadi, persoalannya bukan lagi semata tegur menegur, melainkan persaudaraan yang diasumsikan dalam perkara tegur menegur itu. 

Saya kira, pada masa awal Gereja Perdana (mungkin sampai sekarang 🤭), nuansa persaudaraan sangat bias ikatan suku dan agama, selain ikatan darah. Yang diterima dan diperlakukan sebagai saudara adalah mereka yang seagama dan sesuku. Itu mengapa ada istilah tribalisme. Teks bacaan hari ini menyodorkan ikatan yang melampaui tribalisme sehingga kritik dan teguran persaudaraan bisa berlangsung: di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.

“Berkumpul dalam nama-Ku” itulah yang tadi saya bilang susah karena kerap “Aku” diganti semata dengan hobi, ideologi, hukum, diskon. Hasilnya ya ngerumpi, ngrasani, menghakimi, yang dasarnya semata-mata adalah asumsi, kalau bukan halusinasi. Menariknya, “Dalam nama-Ku” tadi hanya dimungkinkan kalau setiap orang yang terlibat dalam perkumpulan itu masuk ke kedalaman dirinya sendiri. Dengan demikian, teguran persaudaraan bermakna sejauh orientasinya membantu orang mengenali jati dirinya sendiri, berdamai dengan hatinya sendiri.

Tuhan, mohon rahmat untuk semakin mengenali bisikan-Mu dalam hati kami di tengah aneka kesibukan kami. Amin. 


RABU BIASA XIX A/2
12 Agustus 2020

Yeh 9,1-7; 10,18-22
Mat 18,15-20

Rabu Biasa XIX B/2 2018: On Target
Rabu Biasa XIX A/2 2014: Correctio Oke, Fraterna Tunggu Dulu