Disinfektan

Ini pengulangan pesan dua hari terakhir kalau orang mau menghidupi kenyataan ilahi: orang perlu menghindari pemahaman diri sebagai pusat dunia dan membangun persaudaraan yang melampaui ikatan primordial yang bersifat tribal. Akan tetapi, kenyataan ilahi seperti itu tak mudah diwujudkan karena bisa terjadi pengkhianatan, penodaan, pelecehan, penistaan persaudaraan sejati. Janji tinggal janji, komitmen tak punya těměn, cinta bertepuk tangan tapi cuma sebelah.

Dalam keadaan hancurnya kenyataan ilahi itu, teks bacaan hari ini menyodorkan cara pandang ilahi yang memungkinkan orang hidup dalam kemerdekaan, dan dengan demikian, hati yang gembira, yang bisa meningkatkan daya tahan tubuh juga untuk menangkal virus. Cara pandang itu adalah pengampunan belas kasih.
Saya tidak mengatakan hati gembira itu identik dengan senyum-canda-tawa. Ini adalah perkara status batin konsolasi. Dalam keadaan itu, rasa sedih, prihatin, jengkel, marah, bisa jadi hadir, tetapi tidak memupuk anggapan diri sebagai pusat dunia dan tak menghancurkan sikap persaudaraan.

Hal yang membantu saya lebih mudah mengampuni ialah empati, yang disodorkan dalam perumpamaan bacaan hari ini. Itulah perbedaan yang terdapat di antara raja dan hambanya. Sang raja itu memiliki empati kepada hambanya, tetapi hambanya ini tak punya empati sehingga bahkan kepada sesama hamba yang hutangnya sangat kecil itu ia bertindak keji. Empati tidak menyangkal adanya hutang atau kesalahan, tetapi mungkin saja menggerakkan orang untuk menghapuskannya, sebagaimana terjadi pada sang raja dalam perumpamaan itu.

Empati yang ditunjukkan raja itu, menurut dinamika cerita, diharapkan hadir juga dalam diri hamba yang hutangnya luar biasa besarnya. Apa daya, karena empati itu tiada, boro-boro menghapuskan hutang, hutang kecil pun malah dianggap hutang begitu besar. Maka, pengampunan tanpa batas memang mengandaikan empati yang luar biasa. Keluarbiasaannya tidak perlu dimengerti sebagai kualitas yang begitu muluk dan tak mungkin digapai orang biasa.

Saya adalah orang biasa yang juga rapuh dalam hal pengampunan. Akan tetapi, saya memang tak merasa terbebani oleh pengampunan seakan-akan saya harus tebar senyum terhadap orang yang jelas melecehkan, melukai, mengkhianati, menista komitmen yang semestinya dijaga bersama. Pengampunan memberi ruang bagi orang beriman untuk mengembangkan empati tanpa jadi munafik. Dalam masa pandemi ini misalnya, mesti ada saja orang yang seakan-akan tak mengerti sama sekali bagaimana etiket bersin dan batuk. Bayangkanlah Anda hidup bersama orang seperti ini: haruskah Anda terpukau dan tersenyum kepadanya ketika ia bersin di depan Anda?😂 Kalau saya ya pilih kabur menyingkir dan kalau perlu saya semprotkan disinfektan ke mukanya.🤣

Akan tetapi, pun kalau saya mesti cemberut dan marah-marah atau jengkel, itu disokong oleh empati bahwa bisa jadi orang di depan saya ini memang tak punya kebiasaan, tak punya pengetahuan etiket, tak punya kepekaan atau kepedulian, cari perhatian, dan seterusnya. Empati itu sampai pada kesadaran bahwa saya pun dalam posisinya akan melakukan hal yang sama. Jadi, ampuni saja, bukan? Perkara setelah itu mau menambah denda, mencabut aturan, menyemprotkan disinfektan, atau apa lagi, lain soalnya. Mungkin saja empati itu malah jadi disinfektan.

Ya Allah, mohon rahmat kepekaan untuk membangun empati sebagaimana Engkau teladankan. Amin.


KAMIS BIASA XIX A/2
13 Agustus 2020

Yeh 12,1-12
Mat 18,21-19,1

Kamis Biasa XIX B/2 2018: Pengampunan Limited Edition
Kamis Biasa XIX C/2 2016: Mengampuni Itu Lebih Gampang

Kamis Biasa XIX A/2 2014: Susah Memaafkan?