Pengampunan Limited Edition

Published by

on

Sebagaimana cinta bersyarat lebih laku, begitu pula pengampunan bersyarat. Pengampunan total, seperti cinta tak bersyarat, sifatnya limited edition. Sifat limited itu bukan karena pengampunan totalnya sendiri terbatas adanya, melainkan karena orang lebih suka dengan pengampunan dan cinta bersyarat. Kenapa? Jelas: pengampunan dan cinta bersyarat itu membawa kepuasan akan superioritas diri. Orang lain tunduk, salah, kalah, lebih rendah, lebih sesat, dan seterusnya. Pengampunan dan cinta bersyarat memosisikan orang lebih unggul, lebih tinggi, lebih benar daripada orang lain. Dalam pengampunan dan cinta bersyarat ini, perhatian pada on target dikorupsi sebagai on stage bagi diri: sebagai ajang untuk menunjukkan bahwa diri ini berhati luhur, baik, dan seterusnya.

Loh, Mo, kok jadinya saya merasa kita ini seperti mesti melesapkan diri kita di balik layar ya? Berat amir! Lha ya pancen, begitu juga yang dihidupi Yohanes Pembaptis: biarlah aku semakin kecil dan Dia semakin besar! Makin berat, Mo, mosok membiarkan orang lain jadi lebih menonjol!
Astaga, saya tak mengatakan bahwa kita melesapkan diri di balik layar supaya orang lain, yang kita ampuni itu, semakin menonjol. Biarlah aku semakin kecil dan Dia semakin besar! Kurang jelas? Biarlah aku semakin kecil dan DIA semakin besar. Masih kurang jelas juga? Mbok periksa ke dokter mata, please.

Artinya, mengampuni tanpa batas atau cinta tak bersyarat tidak dimaksudkan supaya orang jadi minder dan yang lainnya semakin menjadi-jadi. Ini soal membiarkan kuasa Allah itu semakin kelihatan. Maka dari itu, orang beriman tak perlu berlagak bahwa pengampunan tanpa batas atau cinta tak bersyarat itu bisa dilakukannya sendiri. Itu hanya mungkin dilakukan dalam kerja sama dengan Roh Allah sendiri. Maka, tak ada banyak faedahnya menerima nasihat guru dari Nazareth dengan pretensi bahwa seluruh kemampuan ada pada diri kita. Tidak mungkin, tidak mungkin.

Persoalannya bukan bahwa pengampunan dan cinta tak bersyarat itu tidak mungkin, melainkan bahwa orang tidak mengundang Allah untuk memberikan pengampunan. Kenapa? Karena orang mau jadi superior, mau jadi penentu skenario hidup, baik hidup orang lain maupun dirinya sendiri. “Harusnya dia begini” atau “Dia semestinya begitu” dan sejenisnya. Loh, berarti lèlèh luwèh alias masa bodoh gitu ya, Mo? Iya, dalam arti orang yang mencinta tanpa syarat itu membiarkan Allah yang bekerja. Itu mengapa salah satu tahapan mencinta atau mengampuni orang lain secara total ialah mendoakannya secara tulus: bukan pertama-tama supaya orang lain menuruti keinginanku, melainkan supaya hidayah Allah sendiri datang padanya. [Kalau hidayah Allah itu memang klop dengan keinginanku ya syukurlah, tetapi tak perlu menyamakan keinginanku dengan hidayah Allah.]

Kalau begitu, tak perlu muluk-muluk mendefinisikan pengampunan total atau cinta tak bersyarat sebagai tiadanya rasa perasaan jengkel, marah, sebel, dan sejenisnya. Bisa jadi itu ekses sindrom anak sulung (yang tak rela Allah memberi hidayah pada orang yang tak disukainya). Yang penting, orang tetap fokus, on target, supaya semakin banyak orang tertambat pada cinta Allah sendiri, dan untuk itu orang tak bisa, tak perlu mengambil alih peran Allah. Ada kalanya ia lèlèh luwèh.

Tuhan, kasihanilah kami. Amin.


KAMIS BIASA XIX B/2
16 Agustus 2018

Yeh 12,1-12
Mat 18,21-19,1

Kamis Biasa XIX C/2 2016: Mengampuni Itu Lebih Gampang
Kamis Biasa XIX B/1 2015: Ampun, Bang!

Kamis Biasa XIX A/2 2014: Susah Memaafkan?

Previous Post
Next Post