In omnibus amare

Tetangga kamar saya di sini ada yang layak dijuluki sebagai raja sambal. Sudah biasa bikin sambal sendiri; makanan terpedas yang pernah saya pesankan pun sama sekali tak membuatnya kěpěděsan (bahasa Indonesianya gimana tuh, kan bukan kepedasan toh?). Teman lain ada yang dijuluki sebagai raja sambat. Tiada hari tanpa sambat. Hampir semua hal bisa jadi bahan sambatnya: nyinyiran yang bernuansa mengeluh.

Jangan-jangan, begitu pulalah kiranya orang-orang yang memusatkan hidupnya pada agama: sambat tiada henti karena aturan agama dilanggar. Teks bacaan hari ini menyajikan nyinyiran orang yang pusat hidupnya ada pada hari Sabat, dan mungkin ya betul yang mereka junjung adalah hari sambat. Mereka sambat karena ada orang-orang yang melakukan sesuatu yang dilarang oleh aturan hari Sabat.
Lho, ya wajar toh, Rom? Bukannya Romo juga sambat kalau ada orang yang melecehkan tatanan moral bersama? Bukankah Romo juga komplén karena koruptor kongkalikong dengan pejabat negara? Bukannya Romo juga protes ya kalau ada rekan sejawat yang melanggar komitmen?🤭 [Wah, ini kok mau bongkar-bongkar rahasia saya segala? 🤣]

Anda betul sekali. Saya memang punya kelemahan di situ: mengeluh kalau sesama bus kota saling mendahului, jika sesama orang sengsara rebutan makanan, kalau orang lain ingkar janji, dan seterusnya. Saya sendiri akan mawas diri dengan hal itu. Akan tetapi, ini bukan membela diri, melainkan menunjung tinggi hari sambat [😁]. Kalau saya sambat dalam hal-hal seperti itu, rujukan saya bukan lagi bahwa mereka melanggar aturan, melanggar hukum, melanggar adat, dan seterusnya. Rujukan saya ialah kemanusiaan yang saya yakin sebagai cahaya wajah Allah yang bisa dilihat orang.

Karena itu, pun kalau saya mengeluh, itu bukan per sé karena melanggar ayat-ayat HAM atau pasal hukum kanonik atau piagam kesepakatan bersama. Yang saya keluhkan (sebetulnya sih bukan keluhkan, melainkan prihatinkan) ialah bahwa orang tak menguasai dirinya sendiri sehingga hidupnya diperbudak oleh persoalan-persoalan teknis. Saya percaya Allah mencipta manusia dengan akal budinya supaya bahkan bisa menguasai dirinya sendiri supaya tak jatuh dalam perbudakan. Maka dari itu, kalau bacaan hari ini ditutup dengan kalimat “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat”, itu tak lain dari undangan kepada siapa saja supaya relasinya dengan Allah tak dikacaukan oleh aneka problematika relasi horisontal.

Salah satu kekacauan itu bisa terjadi ketika relasi intim dengan Allah direduksi menjadi ayat-ayat, pasal hukum, kesepakatan kontrak, dan seterusnya. Saya tak perlu membahas keadaan Lionel Messi dan Barcelona, bukan? [Paduné ya ora ngerti waé] Saya tak tahu apakah problem mereka akan berbuntut tuntut-tuntutan. Akan tetapi, saya ingat kata-kata yang konon disuarakan oleh Claudio Acquaviva, pendahulu saya dan Anda: suavitèr in modo, fortitèr in ré. Itu bahasa Latin, yang bisa diterjemahkan bebas dengan “lembut dalam caranya, kuat dalam prinsipnya”. Mungkin bisa ditambahkan in omnibus amare… (dalam segalanya mencinta).

Tuhan, ajarilah kami bertekun untuk mencinta dan melayani Engkau dalam setiap pekerjaan kami. Amin.


SABTU BIASA XXII A/2
5 September 2020

1Kor 4,6b-15
Luk 6,1-5

Sabtu Biasa XXII C/2 2016: Full Day’s Work
Sabtu Biasa XXII A/2 2014: Awas, Jangan Salah Tekan!