Takut Dosa 2

Ada istilah teknis agama yang bisa jadi disalahpahami banyak orang, entah beragama atau tidak, yaitu konsep dosa. Karena itu, biasanya orang kritis mencibir agama, tetapi tidak cukup kritis melihat koneksinya dengan hidup orang biasa. Yang beragama mereduksi dosa sebagai pelanggaran perintah Allah (yang cenderung diidentikkan dengan hukum agama). Yang tak beragama menganggap konsep dosa itu mengerangkeng kebebasan orang, menakut-nakuti orang beragama dengan konsep lain: neraka. Keduanya punya pandangan yang memuat kebenaran juga, tetapi tidak sepenuhnya benar karena menceraikan perintah Allah dari struktur kebebasan manusia.
Halah, apa manèh iki, Ma!

Saya pakai ilustrasi. Kalau orang belajar berdoa dengan meditasi, kontemplasi, pada satu tahap refleksinya dia bisa saja bertanya-tanya karena ragu-ragu: dialog dalam doa itu apa bukannya cuma dialog antara diriku dan pikiranku sendiri? Apakah itu bukan hanya perasaan, harapan, keinginan, cita-citaku sendiri saja? Dengan kata lain, bukan suara Tuhan yang kudengar, tetapi suaraku sendiri.
Persis itulah yang saya istilahkan sebagai struktur kebebasan manusia. Kalau setan saja bisa merasuki pikiran, perasaan, dambaan seseorang, mengapa Tuhan tidak? Dengan demikian, meskipun dalam doa yang didengar orang adalah suaranya sendiri, bisa saja kan Tuhan bekerja lewat ‘suaranya sendiri’ itu?

Problem besarnya, kerja Tuhan tak bisa dikekang dalam ruang-waktu doa orang. Di luar kontemplasi dan meditasi pun Dia bisa masuk dalam struktur kebebasan orang: melalui nalar, rasa, dan karsanya untuk berkarya. Akibatnya, penyelisikannya lebih rumit lagi karena bercampur dengan apa kata orang, kata lembaga, dan seterusnya, yang nota bene juga bisa jadi medium bagi suara Tuhan tadi. Runyam kan? Akan tetapi, justru di situlah letak relevansi istilah teknis agama yang saya singgung tadi: dosa.

Dosa bukan lagi semata perkara melanggar perintah Allah, apalagi perintah agama, melainkan perkara terkungkungnya struktur kebebasan manusia sendiri sehingga nalar, rasa, karsa, dan karyanya tak terorientasikan pada martabat kemanusiaannya sebagai ciptaan Allah. Kalau begitu, seluruh perintah Allah tidak lain berbunyi seperti “Jangan berbohong, karena kebohongan itu membuat dehumanisasi” atau “Jangan mencuri, karena itu menodai kemanusiaanmu” atau “Hormatilah ayah ibumu karena begitulah engkau merajut kemanusiaanmu”, dan seterusnya.

Dengan demikian, jika teks hari ini bicara mengenai teguran kepada sesama yang berbuat dosa, maksudnya jelas: si penegur membantu sesamanya untuk merebut kembali kemanusiaannya, mengalami kebahagiaan tanpa syarat karena Allah Yang Mahacinta. Bahwa dosa melukai Allah dan bikin orang masuk neraka, itu hanya konsumsi imajinasi anak-anak. Saya tak yakin bahwa Guru dari Nazareth pernah berwacana mengenai neraka seperti digambarkan banyak orang. Dosa dan neraka itu satu paket: melukai kemanusiaan, merusak martabat pendosanya sendiri. Dosa tak pernah melukai Allah.

Dalam bahasa Ibrani, konon dosa (hata) adalah perkara orang meleset dari target yang dibidiknya. Ini sudah pernah saya singgung pada posting On Target. Orang begitu yakin mendapat kebahagiaan paripurna dengan apa yang menyenangkannya, tapi jebulnya meleset. Dalam keadaan meleset itu pun bahkan orang bisa membius dirinya dengan aneka kesibukan, kerumunan, kekayaan, ketenaran, kesepian, tetapi toh tetap meleset dari target. Itulah dosa: orang terhambat untuk mengalami kebahagiaan tanpa syarat dan hidupnya tak berbuah bagi kemanusiaan.

Tuhan, mohon rahmat untuk membaktikan hidup kami bagi kemanusiaan-Mu. Amin.


MINGGU BIASA XXIII A/2
6 September 2020

Yeh 33,7-9
Rm 13,8-10
Mat 18,15-20

Posting 2017: Dosa Tuhan
Posting 2014: Tsunami Warning