Ada kalanya keluhan atau sambat lama kelamaan bertransformasi menjadi tindakan anarkis dan bahkan brutal. Teks bacaan hari ini melanjutkan cerita bagaimana orang yang pusat hidupnya ada pada hukum agama hendak menyingkirkan pribadi yang justru berniat baik mengembalikan hukum agama pada pusat hidup sejati, yaitu Allah yang sungguh murah hati. Menurut posting kemarin, Allah yang murah hati ini memanifestasikan diri dalam kemanusiaan yang bermartabat. Maka, hukum agama sudah seharusnya memuliakan kemanusiaan, bukan memuliakan agamanya sendiri.
Ndelalahnya, kaum Farisi dan ahli Kitab Suci itu kok ya nemu aja bahan untuk mempersalahkan Guru dari Nazareth. Tentu saja, baik tidaknya pelaksanaan hukum bergantung pada pemakainya. Celah hukum bisa dimanfaatkan orang culas untuk pemuliaan diri. Korbannya ya orang-orang yang tak tahu menahu seluk beluk hukum yang dibikin orang lain, bukan?
Hukum Allah, meskipun bukan buatan manusia, benihnya sudah tertanam seperti antena radio dalam diri setiap orang. Hanya kalau antenanya sehat, pusat hidup seseorang bisa benar-benar ada pada hukum Allah.
Ini juga digambarkan secara simbolik dalam narasi hari ini. Orang yang lumpuh tangan kanannya merepresentasikan siapa saja yang tak lagi bisa bekerja, bukan melulu karena sakit, melainkan juga karena posisi mereka yang dipinggirkan. Ambillah contoh bahwa pada masa pandemi ini begitu banyak orang kena PHK, tak bisa bekerja seperti semula. Sudah tidak bekerja dan tak punya nafkah, masih pula diminta untuk diam di rumah supaya tingkat virulensi tak menanjak. Padahal, ini cuma pikiran sesaat dan implementasinya bisa sangat terbatas, andai saja ada rembugan komprehensif mengenai kondisi pandemi sebagai kondisi khusus, sebetulnya orang-orang yang kena PHK ini bisa juga dialihtugaskan untuk berfokus pada protokol kesehatan perusahaan.
Sementara itu, urusan gaji bisa dirasionalisasi untuk urusan kesehatan masyarakat tadi sehingga seluruh karyawan dan pimpinan bisa mengerti perlunya potongan gaji untuk jalannya perusahaan. Ini pasti rumit karena variabelnya banyak, dan mungkin jadi lebih rumit lagi kalau aturan pemerintahnya lucu-lucu. Maka, yang paling gampang ialah PHK. Dengan begitu, mereka yang kena PHK karena pandemi ini bisa jadi representasi orang yang lumpuh tangan kanannya, yang tak bisa bekerja lagi, dan dipinggirkan.
Guru dari Nazareth meminta orang seperti itu untuk bangkit dan berdiri di tengah-tengah, menjadi pusat perhatian. Apa berarti orang-orang yang kena PHK tadi mesti demonstrasi besar-besaran minta kembali bekerja? Mungkin, tetapi poinnya bukan itu. Mari lihat detailnya. Orang itu lumpuh tangannya, tetapi kok malah disuruh melencangkan tangannya! Ora logis babar blas tah? Lha wong disebut lumpuh justru karena tak bisa menggerakkan tangan kok malah diminta menggerakkan tangan!
Rupanya begitulah cara kerja Allah: memberdayakan mereka yang dianggap tiada, dicibir, disingkiri, dipojokkan, direndahkan, dan sejenisnya. Daya hidup dari Allah ini tidak muncul dari luar, tetapi dalam diri orang yang bersangkutan. Guru dari Nazareth hanya berkata-kata, selebihnya, terserah Anda. Orang lumpuh itu bisa saja bergumul dalam dirinya: ya justru itu yang saya tidak bisa! Akan tetapi, daya hidupnya terpancar dari dalam, mengalahkan logikanya sendiri, mendobrak common sense yang ditanamkan adat kebiasaan masyarakat, menggerakkan karsanya untuk bertindak.
Tuhan, mohon rahmat untuk memberdayakan sesama alih-alih memperdayanya. Amin.
SENIN BIASA XXIII A/2
7 September 2020
Senin Biasa XXIII B/2 2018: Buat Apa Baperan?
Senin Biasa XXIII C/2 2016: Provokator
Categories: Daily Reflection