Jangan cerewet supaya hatimu tenang, dan tenangkan hatimu supaya suara Roh yang membisikkan Sabda Allah terdengar. Nasihat ini menegaskan catatan kemarin bahwa ‘mendengar’ dalam narasi Kitab Suci tak terbatas pada fungsi biologis manusia. Teks bacaan hari ini juga mengafirmasi catatan kemarin mengenai pentingnya fokus pada keselamatan lebih daripada polemik benar-salah. Guru dari Nazareth memberi contoh bagaimana berfokus pada keselamatan daripada persoalan benar-salah yang melulu merupakan konsensus sekelompok atau beberapa kelompok atau banyak kelompok orang.
Ahli Taurat dan orang Farisi merepresentasikan orang-orang yang ribut dengan persoalan benar-salah. Loh, memangnya kenapa sih Mo, sah-sah aja kan memakai frame benar-salah karena kita ini manusia adalah homo veritas, makhluk yang digerakkan oleh Kebenaran, manusia pencari Kebenaran? Betul, persis itulah contohnya orang yang ribut dengan persoalan benar-salah, dan saya pun, karena tidak mau ribut dengan persoalan benar-salah itu, sepakat bahwa kita manusia memang mesti mencari kebenaran. Saya tidak menampik bahwa frame benar-salah itu sangat manusiawi.
Problem yang saya lihat bukan frame benar-salahnya, melainkan di mana frame itu diletakkan. Kalau frame itu diletakkan di atas segala-galanya, menurut saya kebablasên, dan kalau kebablasên begitu, dugaan saya juga tidak membahagiakan, tidak membawa damai, tidak menentramkan jiwa.
Saya beri contoh pengalaman saya sendiri, yang bisa diparalelkan dengan pengalaman Anda bahkan yang tidak bersangkut paut dengan persoalan seperti yang saya contohkan. Dulu sekali, saya itu anyel alias jengkel setengah mati kalau melihat sesama pengendara motor melanggar lampu merah. Sudah sejak lampu kuning saya menarik tuas rem tangan dan menginjak rem kaki perlahan-lahan, tapi tiba-tiba mak wuzzzz pengendara motor lain melaju kencang di samping saya setelah lampu merah menyala beberapa saat.
Lama-lama ya saya pikir sendiri; ngapain juga orang lain ngebut kok saya jengkel? Apa malah gak bikin stroke saya sendiri kalau orang lain ugal-ugalan malah saya yang keki? Problemnya bukan bahwa orang lain ugal-ugalan, melainkan saya yang baperan!
Loh, bukankah orang-orang itu melanggar peraturan? Betul! Bukankah itu membahayakan pemakai jalan lainnya! Betul sekali! Bukankah nanti dia bisa kena tilang kalau ada polisi yang mau menilangnya? Iya, itu bener banget! Biar tau rasa dia, sumpah!
Tapi apa hubungannya itu semua dengan saya sehingga saya mesti baperan? Apa saya ini dipilih Tuhan untuk menegakkan kebenaran? Kebenaran menurut siapa?
Setelah saya mempertimbangkan safety first, barulah baperan saya lenyap. Tujuan akhir aturan benar-salah adalah untuk membantu supaya orang-orang selamat dan bahagia. Ini gak bisa dibalik: supaya orang selamat dan bahagia, ia harus menaati aturan, karena de facto ada yang melanggar aturan dan ternyata selamat dan bahagia tuh!
Maka, melihat pengendara lain yang ugal-ugalan, doakan saja supaya selamat sampai tujuan. Barangkali memang ugal-ugalan itu cara dia mencapai kebahagiaan. Lha kalau memang benar begitu, njuk ngapain saya mesti stres? Kalau salah pun (karena itu berarti cari selamat sendiri), kenapa juga saya mesti stres? Bukankah lebih baik berhati-hati daripada stres karena ulah orang lain yang mungkin letak kebahagiaannya memang di situ?
Tuhan, jadikanlah kami kami pembawa damai seperti yang Kau kehendaki. Amin.
SENIN BIASA XXIII B/2
10 September 2018
Senin Biasa XXIII A/1 2017: Seberapa Rasional
Senin Biasa XXIII C/2 2016: Provokator
Senin Biasa XXIII B/1 2015: #Kemanusiaan yang Terdampar
Categories: Daily Reflection