Konon filsafat dan dunia medis Yunani tak mengerti soal kehamilan pada perempuan. Bagi mereka, embrio adalah gabungan benih laki-laki dan darah menstrual. Jadi, perempuan itu ya cuma seperti mesin inkubator! Produsen manusia sejatinya adalah laki-laki, dengan menggunakan inkubator itu. Di situ tampaklah ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan. Temuan ilmu pengetahuan mengenai mekanisme ovulasi jadi kritik besar terhadap paham tadi, yang rupanya juga diadopsi agama. Begitu kiranya parafrase dari buku Teologi Seksual yang mengambil bahan dari tulisan Geoffrey Parrinder berjudul Sex in the World’s Religions.
Itu klop dengan pandangan Yahudi jadul mengenai sosok orang tua, yang hanya berarti sosok ayah. Dalam salah satu narasi Injil Markus digambarkan juga konsep itu, ketika “ibu dari anak-anak Zebedeus” datang menghadap Guru dari Nazareth. Kok ya gak ditulis saja ibu dari nama anak-anak (Yohanes dan Yakobus) itu! Justru karena kultur patriarki tadi: anak-anak tadi adalah anak-anak bapaknya, bukan ibunya!
Akan tetapi, menarik juga bahwa dalam dunia agama Abrahamik, frase ‘anak-anak bapaknya’ tadi bukan pertama-tama dimaksudkan sebagai anak biologis seperti dimengerti sekarang: kemiripan mata, hidung, mulut, dada, pinggang, dan seterusnya. Anak Daud, misalnya, adalah perkara pribadi yang karakter dan pandangan hidupnya menyerupai pribadi Daud. Tidak mengherankan, dalam bagian pertama teks bacaan ini terus dikatakan bahwa laki-laki memperanakkan sosok tertentu. Piyé nggawéné jal nèk mung dhèwèkan.🤭 Ya itu tadi, pakai inkubator!
Ulang tahun Bunda Maria yang dipestakan Gereja Katolik hari ini barangkali bisa dipetik hikmahnya dengan tinjauan teologi seksual tadi. Teks bacaannya sendiri tidak secara langsung menampilkan Maria, tetapi justru narasi Yusuf yang berniat menghentikan pertunangannya dengan Maria. Niat itu dipupuskan oleh malaikat, yang mengulik rasa, nalar, imajinasi, kehendak Yusuf. Pada keseluruhan teks itu terlihat bagaimana posisi perempuan dimasukkan oleh penulis dalam lingkungan yang didominasi oleh nama laki-laki.
Warta malaikat kepada Yusuf, dan tentu pengalaman Bunda Maria sendiri, menghentikan paradigma berpikir patriarki tadi: jebulnya, kehamilan Maria tidak disebabkan oleh laki-laki! Akan tetapi, bukankah itu malah menegaskan ketidakberdayaan Maria sebagai inkubator yang tinggal menerima benda asing untuk dikandung dalam rahimnya?
Tidak dituliskan dalam teks bacaan hari ini, tetapi dari refleksi teologis penulis lain dapatlah diketahui bahwa Bunda Maria justru memberi model martabat perempuan yang bukan semata inkubator, melainkan pemiliknya. Artinya, beliaulah yang berwenang ‘penuh’ atas inkubator itu, bukan laki-laki, bahkan Allah a.k.a. Roh Kudus pun tidak memperlakukannya sebagai inkubator.
Kalau Allah itu mencipta manusia, Dia menciptakan komplet dengan kebebasannya. Alhasil, Bunda Maria pun punya peluang untuk berkata ‘occupied‘ atas permintaan Yang Ilahi untuk memanfaatkan rahimnya. Ini yang saya maksud hikmah tadi: dalam diri perempuan Maria ini, tak berlaku konsep diri sebagai inkubator. Rahim adalah fitur keperempuanannya yang pemakaiannya sepenuhnya bergantung pada kehendaknya, kemauannya, kerelaannya. Menariknya, dan ini yang dilupakan kaum anu, kehendak dan kerelaannya itu tidak disamakan dengan keinginannya sendiri, tetapi dengan kehendak Allah yang terus digumulinya. Masuk akal, Allah lebih rahim daripada inkubator mana pun.
Tuhan, mohon rahmat untuk membiarkan semata kehendak-Mu melingkupi hidup kami. Amin.
PESTA KELAHIRAN SANTA PERAWAN MARIA
(Selasa Biasa XXIII A/2)
8 September 2020
Posting 2018: Lahir Melulu’
Posting 2017: Namanya Maria
Posting 2016: Muter-muter Doang
Posting 2015: Buon Compleanno, Maria
Posting 2014: The Art of Seeing
Categories: Daily Reflection