Fatamorgana

Apa sih yang diinginkan orang dalam hidup ini kalau bukan kebahagiaan (di dunia dan akhirat)?Saya kira Anda percaya bahwa semua orang, sekurang-kurangnya Anda dan saya, menginginkan kebahagiaan itu. Problemnya, tak semua pilihan jalan atau cara jebulnya mengarahkan orang pada kebahagiaan yang diinginkan itu. Kebahagiaan menguap sebagai fatamorgana ketika orang tiba di tempat yang diinginkannya. 

Dulu banget saya pernah mempelajari gaya ujian seorang dosen yang memang dikenal sulit. Anehnya, pertanyaan ujiannya itu dari tahun ke tahun sama, hanya sedikit sekali variasinya. Maka, saya pelajarilah kertas ujian kakak kelas saya yang mendapat nilai maksimal pada perkuliahan dosen itu, dan yang menyenangkan saya, soal ujiannya benar-benar sama persis dengan soal ujian yang dikerjakan kakak kelas saya itu. Dengan begitu, saya sama sekali tidak kesulitan menjawab sebagian besar soal ujian itu. Saya memang tidak menghafal jawaban kakak kelas saya, tetapi poin-poin pentingnya masuk dalam uraian jawaban saya.
Ketika beberapa minggu kemudian saya terima kertas ujian saya, kecewalah saya: kok saya dapat skor 60 padahal uraian saya sama dengan uraian jawaban kakak kelas saya yang mendapat skor 100!🤣🤣🤣 Kasiaaaaan….. 

Dalam sastra bangsa Semit konon ada gaya tulisan berisi nasihat yang dirumuskan dengan ungkapan seperti tertuang dalam teks bacaan hari ini. Alih-alih mengatakan “Kamu sebaiknya bla bla bla”, mereka merumuskannya dengan “Berbahagialah mereka yang bla bla bla…” Sebaliknya, larangan dirumuskan dengan kata yang diterjemahkan dalam teks hari ini “celakalah”. Akan tetapi, ini bukan celaka dalam arti ancaman, melainkan dalam pengertian bahwa hal yang dimaksud itu sangat berpotensi menjerumuskan orang ke arah yang bertentangan dengan kebahagiaan sejati. Salah target, salah sasaran, sebagaimana saya singgung dalam posting Takut Dosa 2 beberapa hari lalu.

Dalam teks Lukas ini sasaran sabda bahagia dan celaka itu jelas: mereka yang sudah memutuskan untuk memilih jalan tertentu, mengikuti Guru dari Nazareth. Dalam konteks yang lebih luas, ini berlaku bagi siapa saja yang sudah mengambil jalan istiqomah, jalan ketaatan kepada Allah, yang meninggalkan hal-hal lainnya. Maksud saya, sabda bahagia versi Lukas ini tidak ditujukan bagi sembarang semua orang begitu saja. Hanya kepada mereka yang sudah mengambil jalan Allah.

Maka dari itu, sebagai contoh, kalau disebutkan karakter pertama berkenaan dengan kemiskinan, yang disasar bukanlah semua orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, gelandangan, tak berduit, dan sejenisnya. Dalam beberapa bab sebelumnya ditunjukkan program Guru dari Nazareth ini untuk membawa kabar baik bagi orang miskin; tentu maksudnya bukan membiarkan orang miskin tetap miskin atau malah semakin miskin. Sebaliknya! Beliau tidak menginginkan ketidakadilan sosial.

Justru untuk mengatasi hal itu, pasti dibutuhkan orang-orang yang meninggalkan kepentingan ego, kepentingan tribal, kepentingan familial, bahkan segala-galanya sehingga secara praktis mereka ini ‘miskin’. Apa daya, kontraposisinya ditambahkan setelah sabda bahagia itu: celakalah kamu yang kaya. Ini bukan sembarang orang kaya, melainkan mereka yang sudah memilih untuk mengambil jalan Allah tetapi masih memperkaya dirinya, mengejar pujian, memperkaya ego, kepentingan keluarga, dan seterusnya. Di situ, kebahagiaan jadi fatamorgana.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan dan ketekunan untuk mengalami nikmat-Mu. Amin.


RABU BIASA XXIII A/2
9 September 2020

1Kor 7,25-31
Luk 6,20-26

Rabu Biasa XXIII B/2 2018: Politik Dua Kaki 
Rabu Biasa XXIII C/2 2016: Hidup Seolah-olah

Rabu Biasa XXIII A/2 2014: Married Oke, Jomblo Bahagia