Pernah saya pergi ke Thailand untuk mengikuti suatu kursus kepemimpinan selama dua minggu. Masakan di tempat kursus sungguh enak; selalu habis, kecuali wadahnya. Beberapa kali kami juga pergi makan di luar, di sembarang rumah makan, dan nasib makanannya pun sama. Tak bersisa apa-apa di atas piring, kecuali sendok-garpunya. Benar-benar nak nan alias ènak těnan bin lezat sungguhan. Biasanya saya kesulitan mengatakan suatu makanan itu enak.
Seorang kawan yang bertugas di kota lain datang berkunjung dan menanyakan bagaimana makanan di situ. Saya jawab tanpa ragu: nak nan. Heran saya, kawan saya malah keheranan. Dia bilang koki tempat kursus ini masih baru, dan masakan koki sebelumnya lebih enak. Wah… tak terbayangkan di benak saya seperti apa enaknya masakan koki sebelumnya. Akan tetapi, bahkan belum sempat saya membayangkannya, dia bilang bahwa dari sekian rumah yang dikelola oleh perkumpulan penyelenggara kursus itu, masakan di tempat saya kursus itu kurang enak dibandingkan dengan masakan di tempat kursus lainnya. Ebuseeeet…..
Selepas dari Thailand itu, saya benar-benar kehilangan selera makan. Saya tetap bisa menikmati masakan Indonesia, tetapi setelah sekian waktu makan masakan yang sangat mirasa alias bumbunya kuat sekali, selera terhadap mi ayam bangka, be pe ka, konro, brongkos, pempek, iga sapi, steak, pizza, carbonara, dan seterusnya tidak lagi membuat air liur saya menetes dan lidah menjulur keluar. Kalau ada, saya bisa makan. Kalau tidak ada, saya tak terobsesi untuk mengada-adakannya. Lha gimana lagi, paling ya seperti itu…🤭
“Tak seorang pun yang telah minum anggur tua menginginkan minum anggur yang baru.” Saya bisa mengerti ungkapan itu berdasarkan pengalaman intensif di Thailand tadi. Dalam arti itu saya memahami attachment-detachment. Tak seorang pun yang telah menikmati enaknya masakan berbumbu kuat (seperti masakan Thailand misalnya) menginginkan makan masakan berbumbu minimalis. Pada kenyataannya, saya tetap menginginkan makan konro atau mi ayam bangka, tetapi bukan lagi karena perkara kenikmatan, melainkan perut yang butuh asupan atau kebutuhan untuk bersosialisasi.
Sebagaimana kenikmatan makanan saya relatif terhadap masakan Thailand itu, demikian halnya orang menghayati hidup keagamaan. Saya bisa sedemikian fanatik terhadap agama Katolik jika saya tak mengalami sesuatu yang lebih memukau daripada agama Katolik, karena anggur tua lebih enak daripada anggur baru. Apa yang jadi kebiasaan dianggap lebih baik daripada hal baru. Orang bisa punya attachment terhadap ‘anggur tua’ dan tak ada sesuatu yang memukau dari hal baru. Apakah sesuatu yang lebih memukau itu?
Yang memukau bukan lagi agama (apa pun namanya), melainkan Allah yang saya imani lewat agama. Bahasa teknis saya: pengalaman akan Kristus.
Saya punya detachment terhadap agama Katolik karena pengalaman iman yang lebih agung daripada agama Katolik sendiri.
Alurnya bisa dimengerti begini. Taruhlah Kristus itu adalah ‘anggur baru’, sebagaimana masakan Thailand berbumbu kuat tadi. Ketika pengalaman akan Kristus tadi diterjemahkan ke dalam praktik agama (rumusan doa, ritual, amal, puasa, hukum kanonik), ‘anggur baru’ tadi bisa jadi ‘anggur lama’ juga. Kapan? Ketika rumusan doa, ritual, puasa dan sebagainya tadi lebih tebal daripada pengalaman akan Kristusnya sendiri. Praktik keagamaan seperti itu jadi obat tidur yang tak akan diganggu gugat oleh pengalaman iman. Di situ agama menjadi usang.
Agama bisa jadi ‘anggur tua’, sementara iman senantiasa baru. Agama bisa jadi perkara repetitif yang bisa diambil alih pelaksanaannya oleh (manusia) robot. Yang membuatnya berisi adalah pengalaman iman, ‘anggur baru’. Jadi, kalau orang beragama tidak memperbarui cara beragamanya, punya attachment terhadap praktik usang agamanya, sebetulnya ia sedang menggali kubur agamanya sendiri. Hidup berimannya tak dinamis. Pengalaman akan Allahnya hanya ideologi, teori, asumsi, yang tidak menjiwai hidup konkretnya.
Tuhan, tambahkanlah iman kami supaya dapat mengalami cinta-Mu dalam hidup konkret. Amin.
JUMAT BIASA XXII A/2
4 September 2020
Jumat Biasa XXII B/2 2018: Agama Usang
Jumat Biasa XXII C/2 2016: Kangen
Jumat Biasa XXII A/2 2014: Tobat Tulus vs Akal Bulus
Categories: Daily Reflection