Tiramisù

Saya punya keponakan yang sedang getol berbisnis dan dalam perbincangan dengannya terungkap bagaimana dalam bisnis yang dijalaninya itu ada filosofinya; juga dituntut komitmen, manajemen emosi, disiplin, dan seterusnya. Tentu saja filosofi, komitmen, manajemen emosi, dan seterusnya itu ada dalam bisnis lain juga. Yang menjadi pertanyaan saya: apakah filosofi dan seterusnya itu tak dihidupinya sewaktu kuliah, dan baru diapresiasi dan diapropriasi (apa pula ini) atau diinternalisasi ketika dia berhadapan dengan tekanan hidup selepas kuliahnya? Kalau betul begitu, berarti pendidikannya kurang memberi tekanan hidup nyata.🤣

Mempertimbangkan makna simbolik narasi dalam teks bacaan hari ini, tampaknya begitulah cara orang belajar. Kalau belum kena celaka sendiri ya belum serius belajarnya. Contohnya saya ini, gara-gara gak naik kelas malah jadi juara satu di kelas (lha wong tinggal mengulangi pelajaran yang pernah saya pelajari🤭).
Ceritanya Guru dari Nazareth mengusulkan supaya Petrus menolakkan perahunya ke bagian danau yang dalam. Anda masih ingat kan, danau dan laut itu dalam bahasa Kitab Suci merujuk pada suasana ‘jahat’ alias kacau, tak tertata, disorientasi, gelap, dan sejenisnya. Nah, sang Guru malah meminta Petrus menuju ke tempat yang dalam, yang potensi kekacauan dan kegelapannya itu semakin besar.

Apakah itu maksudnya sang Guru menantang bahaya? Ya bukan. Maksudnya bisa dilihat dari bagian akhir narasi itu, tetapi kalau dilihat komponen ceritanya, permintaan Guru dari Nazareth itu menunjukkan konflik antara trust dan pertimbangan profesional manusiawi. Jelaslah “kembali ke tempat yang dalam” adalah tindakan percuma untuk menangkap ikan karena itu yang sudah dilakukan, diteliti, diobservasi, dan sebagainya. Lha kok malah sang Guru ini meminta kembali ke sana! Petrus mengalami konflik batin, yang ditutupnya dengan menaruh trust pada kata-kata sang Guru, terlepas dari tulus tidaknya pilihan Petrus.

Buah trust pada kata-kata sang Guru itu berlimpah ruah. Akan tetapi, mari kembali lihat maksud sang Guru meminta Petrus bertolak ke tempat yang dalam, ke tempat tekanan hidup semakin berat. Maksudnya diletakkan di bagian akhir teks: beliau meyodorkan misi bagi Petrus untuk menjadi penjala manusia. Mungkin Anda masih ingat poin yang saya singgung dalam posting Hitam Putih. Kata yang dipakai bukanlah menjala, apalagi memancing, melainkan ζωγρῶν (zōgrōn, Yunani), yang berarti menangkap (hidup-hidup). Artinya? Orang yang menaruh trust pada kata-kata sang Guru, orang beriman yang memercayai Sabda Allah, punya misi untuk menangkap orang supaya keluar dari tekanan yang bisa jadi datang dari aneka penjuru. Keluarnya tentu hidup-hidup.

Aneka kesulitan yang ditimbulkan oleh pandemi bisa jadi menambah intensitas tekanan hidup dan persis inilah ‘tempat yang dalam’ itu. Petrus sendiri merepresentasikan orang yang ditarik keluar oleh sang Guru. Dia menyatakan dirinya pendosa dan berharap sang Guru meninggalkannya, tetapi malah beliau mengundang Petrus untuk meneruskan pekerjaan semacam itu: menarik orang untuk mencari kemungkinan baru sehingga hidupnya tak terjerat aneka beban masa lalu atau kedosaan yang merusak solidaritas Allah bagi kemanusiaan. Mungkin begitulah filosofi tiramisù: menarik ke atas.

Tuhan, mohon rahmat keterbukaan pada Sabda-Mu sehingga hidup kami semakin merdeka dan memerdekakan sesama yang terjerat kekacauan hidup. Amin.


KAMIS BIASA XXII A/2
3 September 2020

1Kor 3,18-23
Luk 5,1-11

Kamis Biasa XXII B/2 2018: Hati Yang Luka Akademis
Kamis Biasa XXII C/2 2016: Hati-Hati Otak-Otak
Kamis Biasa XXII A/2 2014: Jangan Takabur, Bray!