Infantilisme

Kalau pusat hidup Anda diletakkan pada agama, bukan pada Allah, Anda akan galau jika ada orang berpindah agama. Kalau ia pindah ke agama lain, Anda sedih; kalau ia pindah dari agama lain, Anda senang. Itu contoh kebahagiaan bersyarat. Jika pengamatan ini keliru untuk Anda, sekurang-kurangnya saya dulu pernah mengalaminya, saat hidup beriman saya masih begitu infantil bin kekanak-kanakan.

Sikap infantil dalam beriman ini yang disinggung Paulus dalam khotbahnya kepada jemaat di Korintus. Sikap ini mengekang martabat rohani ke dalam perkara indrawi. Tak bosan saya menyitir kata-kata Antoine de Saint-Exupéry: It’s only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye. Dalam konteks khotbah Paulus, seharusnya jemaat Korintus yang sudah dewasa tidak lagi sibuk dengan siapa kelompok murid siapa, karena dengan begitu yang jadi pusat perhatian adalah gurunya yang kelihatan, bukan Kristusnya. Begitu juga halnya jika orang Kristen/Katolik beragama secara infantil di bumi yang penghuninya sangat beragam: pusat perhatiannya ada pada ajaran agama, bukan lagi Kristus. Selanjutnya, paham mengenai Kristus ini bagi orang Kristen/Katolik infantil bisa menggeser posisi Allah YME.

Guru dari Nazareth sendiri berkali-kali mengundang para muridnya untuk menghidupi status sebagai anak-anak Allah. Orang beragama infantil hanya bisa menangkap anak-anak sebagai keturunan biologis sehingga tak habis pikir bahwa panah punya anak atau pintu punya daun, dan dengan demikian anak-anak Allah itu juga omong kosong. Dalam istilah Paulus, orang beragama seperti ini bisanya minum susu, belum bisa mengunyah makanan yang keras. Sebaliknya, orang beragama yang menghayati diri sebagai anak-anak Allah, punya hati yang sederhana (bukan infantil), yang mencari makanan keras, yaitu Allah yang bebas dari bentuk-bentuk attachment bin kelekatan pada dunia indrawi tadi.

Sepak terjang Guru dari Nazareth jelas menunjukkan hal itu. Setelah menyembuhkan ibu mertua Petrus, banyak orang datang dan meminta kesembuhan. Granted. Akan tetapi, diwenehi ati ngrogoh rempela, sudah diberi kebaikan, maunya semua-muanya dituruti. Orang-orang berusaha menahan Guru dari Nazareth supaya hidup mereka terjamin. Apa boleh buat, beliau memberi makanan keras: keselamatan yang diberikan padamu itu mesti juga diberikan kepada orang-orang lain! Keselamatan itu mesti diwartakan ke tempat lain juga. Bagaimana orang-orang menerimanya, dengan cara apa, dengan agama apa, dengan keyakinan apa, none of your business!

Akan tetapi, sikap kekanak-kanakan tak pernah berhenti beredar. Juga terhadap pernyataan itu orang cenderung menangkap secara gampang: itu berarti tak peduli dengan keyakinan lain, agama lain, cara lain, dan seterusnya. Detachment berubah jadi indifferent, salah satu fitur pribadi kentang yang tak maksimal.

Kembali ke atas, jika orang maksimal dalam keagamaannya, pusat hidupnya adalah Allah. Target hidupnya: menjadi anak Allah. Maka, agamanya, agama lain, Kitab Sucinya, Kitab Suci lain, bisa jadi perhatiannya untuk mewujudkan kualitas anak Allah tadi, bukan untuk membela kebenaran versi agamanya sendiri, pengalaman subjektifnya sendiri, kebiasaannya sendiri, sukunya sendiri, dan sendiri seterusnya. Semua mesti jadi elemen untuk mencari kualitas anak Allah sesungguhnya.

Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati untuk melihat kehadiran-Mu juga dalam perbedaan akibat keterbatasan indrawi kami. Amin.


RABU BIASA XXII A/2
2 September 2020

1Kor 3,1-9
Luk 4,38-44

Rabu Biasa XXII B/2 2018: Echo Chamber 
Rabu Biasa XXII C/2 2016: Tuman
Rabu Biasa XXII A/2 2014: You are God’s Coworker