Anjaaay

Ini sharing masa lalu, sekitar zamannya Dilan, persisnya akhir tahun 80-an. Semua guru, karyawan, dan kebanyakan teman tahu bahwa saya dan beberapa teman lain bercita-cita jadi pastor. Saya bahkan mencita-citakannya sejak kelas tiga SD, dan beberapa dekade kemudian saya sadar bahwa itu bukan cita-cita terdalam saya.🤭 Bahwa sekarang jadi imam, ya terima aja kan?🤣
Kenapa konteks itu saya sodorkan? Karena keadaan itu membuat saya terkondisikan untuk jadi ‘alim’ seturut parameter orang-orang di sekeliling saya. Padahal, kata ibu saya, waktu kecil itu saya nakal, tetapi setelah pindah ke metropolitan memang saya jadi anak saleh bin santun, sehingga kalau saya mengatakan saya mau jadi pastor pun orang-orang di sekeliling saya memakluminya.

Sebelum masuk ke SMA seminari, pesantren Katolik itu, saya punya peer group yang anggotanya memang anak-anak yang, katakanlah, alim. Tak satu pun dari kami yang ikut-ikutan menyerapah dengan kata ‘anjing’. Itu sangat ofensif. Akan tetapi, saya mengerti bahwa teman-teman lain memakainya sebagai ungkapan akrab, kagum, terpukau, heran, tertantang, dan sekitar itulah, bukan sungguh-sungguh untuk memaki. Binatang itu memang jadi sangat populer, di sekolah maupun di luar sekolah. Lama-kelamaan, saya pun jadi agak latah untuk memakainya, tetapi karena reputasi peer group saya, keragu-raguan memengaruhi juga. Suku pertama diucapkan lantang, tetapi suku kedua lebih lirih dan panjang, dan bunyi sengaunya hilang diganti rrrrrrrr……

Setelah saya hijrah ke Jawa‘, saya tak lagi akrab dengan anjir, tetapi ketika beberapa tahun kembali ke metropolitan, saya mendengar kata itu bermetamorfosa menjadi anjrit, dan sekarang ini jadi anjay. Benar-benar anjay ini gejala bahasa gaul!😂
Tapi kenapa ini mesti dibagikan di sini, Rom?
Saya juga tidak tahu kenapa kata anjay mesti jadi bahan nyinyiran. IMHO, penutur bahasa punya segmen dan konteksnya sendiri. Kalau orang dilatih memahami konteks, saya kira itu lebih baik, supaya tidak terjadi, misalnya, dalam konteks akademik, mahasiswa menulis penelitiannya dengan memakai kata jadian kekepoan.😁

Teks bacaan hari ini memberi kualifikasi ‘kuasa’ pada perkataan atau ajaran Guru dari Nazareth. Beliau mengajar dengan penuh kuasa. Maksudnya, otoritas ajarannya tidak berasal dari pencitraan (seperti saya menjaga reputasi peer group tadi), tetapi dari kedalaman hati yang digerakkan oleh cintanya kepada Allah. Kalau mau kembali ke bahasa gaul tadi, mereka yang mengubah kata ofensif menjadi ungkapan rasa akrab, hormat, kagum, penuh pujian, itu justru menunjukkan ‘kuasa’ dari kedalaman hati mereka. Orang yang punya keterbukaan sewajarnya punya kepekaan juga untuk menangkap nuansa atau muatan afeksi atau emosi dalam kata yang dituturkan.

Kuasa pengajaran Guru dari Nazareth tidak melekat pada kata-katanya sendiri, tetapi pada pribadinya. Kata-kata Guru dari Nazareth memang bisa diulang oleh siapa pun, tetapi kekuatannya sangat bergantung pada bagaimana pengulang kata-kata itu menghidupi sendiri ajarannya. Menghidupi ajaran Guru dari Nazareth, mau tak mau, mengandaikan orang punya keterarahan hidup kepada Allah, bukan pada agama, pastor, imam, pendeta, politik, ekonomi, dan seterusnya. Runyamnya, terarah kepada Allah itu juga berarti terarah pada kemanusiaan.

Tuhan, mohon rahmat kepekaan akan panggilan-Mu dalam hidup konkret kami. Amin.


SELASA BIASA XXII A/2
1 September 2020

1Kor 2,10-16
Luk 4,31-37

Selasa Biasa XXII B/2 2018: Dokter Laris
Selasa Biasa XXII C/2 2016: Omong Kosong

Selasa Biasa XXII A/2 2014: Manusia Utuh Butuh Titik-titik