Agama (Jangan) Bikin Stres

Paradoks berguna untuk memprovokasi refleksi, memberi shock tertentu kepada pendengar atau pembacanya. Kemarin disodorkan bagaimana orang munafik berlagak hendak mengeluarkan suban alias serpihan kayu di mata orang lain sementara matanya sendiri tercolok balok. Orang begitu kritis terhadap orang lain, tetapi tidak terhadap dirinya sendiri. Gampang menyalahkan orang lain, susah melihat kesalahan sendiri.

Dalam mitologi Yunani ada narasi Dewa Zeus meletakkan pelana kepada manusia. Satu di depan, yang lainnya di belakang. Yang di depan isinya adalah kerapuhan, kelemahan, cacat, kekurangan orang lain. Sementara yang di belakang isinya adalah kelemahan si pembawa kelana. Akibatnya, orang memang lebih gampang melihat dan merasa-rasakan kelemahan orang lain sebagai beban. Kelemahannya sendiri tak dapat dilihatnya meskipun jadi beban juga.

Guru dari Nazareth menambah intensitas kesenjangan itu: antara kelemahan orang lain yang begitu kecil, yang sebetulnya sulit dilihat, dan kelemahan diri sendiri yang begitu besar. Beliau menyodorkan paradoks untuk membongkar tendensi kemunafikan dalam hati pendengarnya: puas diri dalam menghakimi pribadi lain; ya kembali ke atas tadi: susah mengoreksi diri, gampang mengoreksi orang lain. Dalam bahasa teknis agama persoalannya bisa jadi runyam karena orang bisa menghakimi orang lain sebagai pendosa, seakan-akan diri penghakim ini bukanlah pendosa.

Kalau mau menghakimi pribadi lain, Guru dari Nazareth merekomendasikan kriteria yang disampaikannya melalui metafora pohon dan harta karun dalam hati orang. Bahasa bunga ini kerap ditafsirkan pembaca sebagai kriteria bibit bebet bobot seseorang. Kalau seseorang dari keluarga baik-baik ya dia baik-baik. Kalau orang dari keluarga maling ya dianya potensial jadi maling. Ini namanya eisegesis, menafsirkan teks berdasarkan asumsi, prasangka, atau mentalitas kulturalnya sendiri, bukan berdasarkan teks bacaannya. Pada kenyataannya, prasangka itu tidak selalu benar, meskipun statistika mungkin menunjukkan persentasenya tinggi.

Pohon dan harta karun dalam teks Lukas ini mesti dihubungkan dengan ayat-ayat selanjutnya, mengenai integritas orang beriman dan dasar integritas itu, yaitu Sabda Allah. Dalam tradisi Kristiani, ini identik dengan Yesus Kristus. Dalam tradisi Islam, dikenal Alquran. Dalam tradisi lain, ada istilah lain lagi. Seperti pohon tadi, secara alamiah buahnya sinkron dengan pohonnya. Begitu pula orang beriman menghasilkan buah seturut cara tafsir agama yang dihidupinya. Buahnya baik sejauh agamanya (baca: iman orangnya) dibangun di atas dasar Sabda Allah dalam hatinya. Artinya, buahnya baik selama akar pohon tadi memang merasuk ke pondasi kokohnya yang tertanam dalam hati orang.

Dengan begitu, kalau orang melakukan tindak kejahatan, itu hanya berarti pikiran dan perilakunya tak berakar pada Sabda Allah.
Trus, dibiarin gitu aja Rom orang jahatnya?
Nah nah nah, itu lagi muncul. Kemarin kan dah saya bilang, mohon atribut jahat itu tak diletakkan pada pribadi, melainkan perilakunya saja. Allah mencintai manusia bahkan meskipun perilakunya merugikan jiwanya sendiri.
Romo rèsèk, ya maksudnya juga bukan begitu.
Kalau maksudnya bukan begitu, ya cukup dibilang ‘orangnya’ aja, gak usah diembel-embeli jadi ‘orang jahat’.
Rèsèk.🤭

Orangnya ya tetap dicintai dengan cinta berdimensi agape itu, dengan keprihatinan dan perhatian pada kepentingan seluas-luasnya: menegurnya, menjauhinya, menaruhnya di Nusakambangan atau gimanalah. Dengan begitu, Anda malah mungkin terbebaskan dari stres, stroke, atau sakit jiwa lainnya.
Tuhan, mohon rahmat supaya pikiran dan tindakan kami sungguh tertambat pada Sabda-Mu. Amin!


SABTU BIASA XXIII A/2
12 September 2020

1Kor 10,14-22
Luk 6,43-49

Sabtu Biasa XXIII C/2 2016: Bebas Bertanggung Syahwat
Sabtu Biasa XXIII A/2 2014: Deeper than Feeling and Action