Repetisi bin pengulangan: dalam bacaan hari-hari belakangan ini disodorkan karakteristik Anda yang telah memilih jalan Allah. Artinya, meninggalkan yang non-Allah untuk berjalan bersama-Nya, dengan cara atau agama Anda sendiri. Anda tidak semata memilih apa yang alamiah seperti terjadi pada bunga matahari, tetapi juga terutama mengacu pada yang ilahiah. Anda mencinta sebagaimana Allah mencinta, tak butuh dan tak mengharapkan upah apa pun, termasuk surga kelak nun jauh di sana, selain mencinta itu sendiri. Anda dapat mencinta tanpa syarat, dapat mengutuk perbuatan orang tanpa mengutuk orangnya, membiarkan perilaku kejamnya meleleh seperti es lilin dari batangnya. Ini kapasitas yang hanya dimungkinkan jika Anda memang telah meninggalkan yang non-Allah tadi untuk menapaki jalan Allah, jalan kepada-Nya. Di situ, layaklah Anda berbahagia.
Akan tetapi, karena Anda terbentuk oleh atom-atom alami juga, status seperti itu tak bisa selamanya bertahan di dunia alamiah ini. Selalu ada tarikan atau bahaya yang membuat Anda terjerembab dan cinta Anda jadi bersyarat. Tak usah khawatir, justru karena Allah yang mencinta tanpa syarat itu tak pernah menghakimi pribadi Anda, tetapi perbuatan-perbuatan Anda. Anda tetaplah pribadi yang layak dicintai-Nya, sepanjang segala abad. Persoalannya tinggal bahwa meskipun Anda layak dicintai, belum tentu Anda happy karena Anda sendiri mungkin tidak mencintai diri Anda sendiri, yaitu ketika keprihatinan Anda bersifat egois atau tribal semata, sebagaimana saya singgung kemarin.
Teks bacaan hari ini menunjukkan potensi bahaya yang memungkinkan orang beriman bisa terjerembab. Perumpamaannya menyindir orang-orang munafik yang bagaikan orang buta menuntun orang buta. Mengenai orang buta ini, tulisan Yohanes (bab 9) menyajikan narasi yang menarik. Orang-orang Farisi yang munafik merasa tersindir oleh ucapan Guru dari Nazareth: yang buta melihat, yang bisa melihat malah buta! Paradoks, kan? Akan tetapi, begitulah kenyataannya. Orang yang buta sejak lahir akhirnya melihat, tetapi yang dilihat orang buta sejak lahir itu malah tak dilihat orang-orang Farisi.
Tadi malam kami menonton film berjudul Fatima, dan di situ digambarkan secara singkat miracle of the sun yang terjadi pada tanggal 13 Oktober 1917. Saya tak ambil pusing dengan fenomena alamnya sendiri. Setiap pihak bisa menjelaskan versinya sendiri-sendiri, dan penjelasan ini pastilah berbasis cara pandang indrawi (blepo) dengan objek eksterior. Objek interiornya menurut saya jelas: pertobatan. Itulah yang tidak dimiliki orang-orang Farisi yang munafik, tetapi juga orang-orang fanatik yang tatapannya hanya tertambat pada hal eksterior, dan interioritasnya tak tersentuh (objek formalnya sama sekali tak berubah). Akibatnya, mereka ini menyembah Allah yang ada di kepala mereka sendiri.
Jawaban Guru dari Nazareth terhadap orang-orang Farisi yang merasa disindir sebagai orang buta cukup jelas: seandainya memang mereka buta, no problem, tetapi karena mereka mengklaim diri ‘melihat’, di situlah persoalannya. Mereka menganggap diri tercerahkan, tetapi pencerahannya terbatas pada kepala mereka sendiri. Orang-orang macam begini, yang tak tahu bahwa dirinya picik, kalau jadi pemimpin, bikin orang lain juga picik; tak tahu bahwa mereka tidak tahu.
Tuhan, mohon rahmat pertobatan supaya juga pengetahuan kami terarah pada kebesaran-Mu. Amin.
JUMAT BIASA XXIII A/2
11 September 2020
1Kor 9,16-19.22b-27
Luk 6,39-42
Jumat Biasa XXIII C/2 2016: Mata Genit
Jumat Biasa XXIII A/2 2014: Pemimpin Buta Rakyat Melek
Categories: Daily Reflection