Saya tidak akrab dengan tiktok, tetapi saya diberi informasi oleh tetangga bahwa kata itu dalam bahasa Yunani berarti melahirkan, menerangi, memproduksi. Setelah saya cek, yang betul adalah τίκτω (tikto) gak pakai akhiran -k. Tapi sudahlah, ini kan receh, kemarin sudah diwanti-wanti supaya Anda jangan terciduk receh. Jadi anggaplah tiktok di dinding itu memang bisa memberi terang, melahirkan atau memproduksi sesuatu.
Dari kata kerja τίκτω tadi muncullah kata benda τέκνον (teknon) yang berarti anak, atau keturunan. Kata inilah yang dipakai dalam cerita yang disodorkan dalam teks bacaan hari ini. Kenapa yang dipakai kata τέκνον ini ya daripada παῖς (pais), which is [bèn ketòk isa basa Énggrés] a common Greek word for both child and young person, regardless its sex?
Mungkin karena teknon punya makna figuratif di samping makna biologisnya: ada unsur ikatan afektif keibuan dari sosok ayah yang punya teknon tadi. Ayah ini senantiasa merengkuh anak-anaknya untuk bertumbuh dalam cintanya.
Ceritanya, sang ayah memberi petunjuk kepada anak-anaknya untuk bekerja di ladang anggur. Jangan lupa, ini adalah metafora. Anggur dalam tradisi Yahudi itu terasosiasikan dengan pesta, yang semestinya membawa kegembiraan. Lha iya, tapi ceritanya ini kan bukan ayah yang meminta anak-anaknya untuk minum anggur, Rom! Mereka diminta hari itu untuk bekerja di ladang. Ini pekerjaan yang biasanya dilakukan buruh harian dan karyawan.
Betul sekali, dan justru di situlah relevansi kata teknon. Ini bukan perkara seorang ayah mempekerjakan anak kandungnya, melainkan soal ayah yang menginginkan anak-anaknya menghasilkan sesuatu yang bermakna, yang mengantar mereka pada kebahagiaan.
Keterangan waktu “hari ini” merujuk pada masa hidup manusia di dunia fana ini. Artinya, permintaan sang ayah itu berlaku untuk semasa hidup manusia. Terhadap permintaan ayah itu, ada dua reaksi dari kedua anaknya. Yang lahir duluan menjawab “Ashiaaap”, tetapi tidak pergi. Yang lahir belakangan lebih mengikuti tendensi pak Ogah manusiawinya, tetapi kemudian pergi juga. Dari dua reaksi itu, pertanyaan pencerita sangatlah mudah dijawab. Mana dari kedua anak yang melalukan kehendak ayahnya? Ya jelas anak yang kedua, bukan?
Akan tetapi, sebetulnya cerita itu juga bisa dikembangkan dengan empat tipologi reaksi. Anak ketiga menjawab ya dan pergi bekerja. Anak keempat menjawab tidak dan tidak pergi bekerja. Ini tipe orang berintegritas tinggi, terlepas dari isinya tepat atau sesat. Sepertinya ini tipe ideal yang dalam kenyataannya mungkin cuma ada beberapa gelintir orang. Tak ada orang yang 100% baik atau 100% jahat. Semuanya ada dalam perjalanan, a pathway to God. Ini bukan promosi blog versodio, melainkan penegasan bahwa setiap orang ada dalam perjalanan menuju Allah. Dalam perjalanan itu potensi empat tipologi itu bisa muncul, dua tipologinya lebih potensial daripada dua yang lain, yaitu yang direpresentasikan oleh si sulung dan si bungsu.
Karakteristik perjalanan ditunjukkan oleh anak kedua: pertobatan. Sebetulnya dalam teks asli, kedua anak itu tidak menjawab “Baik, Bapa.” Itu terlalu sopan, seakan-akan mereka menganggap sang ayah sebagai bapak yang baik hati. Bunyinya tidak begitu, tetapi “Siap, Tuan!” Keduanya menerima permintaan ayah mereka sebagai beban tugas pekerjaan. Akan tetapi, anak kedua dalam perjalanannya mengalami perubahan sikap, barangkali karena dia melihat bahwa yang diminta ayahnya itu memang membawa kebahagiaan.
Pertobatan ini tidak dimiliki kelompok Farisi yang beberapa saat sebelumnya mempersoalkan otoritas Guru dari Nazareth. Mereka ini orang-orang yang punya popularitas, harga diri, nama baik, yang semuanya semu karena dibangun di atas arogansi yang tidak memungkinkan pertobatan mereka sendiri.
Tuhan, mohon rahmat untuk senantiasa menelisik gerakan batin yang menghambat kami dalam perjalanan menuju hadirat-Mu. Amin.
MINGGU BIASA XXVI A/2
27 September 2020
Yeh 18,25-28
Flp 2,1-11
Mat 21,28-32
Posting 2017: Search Inside Yourself
Posting 2014: Walk Out Gak Eaaaa…
Categories: Daily Reflection