Membunuh Tuhan

Kalau Anda ingat sosok pembunuh Tuhan, mungkin yang Anda ingat sama dengan sosok yang saya maksud: Friedrich Wilhelm Nietzsche. Dia punya saran: manusia mesti menemukan dayanya sendiri untuk menguasai hidup ini, tak usah berpatokan pada hidup kelak yang dijanjikan agama. Ada benarnya juga sih, tetapi bukan berarti tanpa potensi kesalahpahaman. Cuma jangan dibahas di sini dehwong dasarnya saya juga gak paham.🤭

Perihal bunuh membunuh ini mending mengingat film sinetron yang kami tonton saja, Heroes. Jagoannya ini sudah difitnah, diolok-olok, dirundung, dijahatin sama orang, tetap saja dia penuh ampun. Murid-muridnya tak pernah diperbolehkannya membunuh, bahkan musuhnya sekalipun. Nah, tadi malam, ia membunuh orang yang sangat licik dan kejam. Saya pun merasa puas bahwa Huo Yian Jia bisa membalas kekejian Lu Si Ying. Kami kira film berakhir setelah pembalasan dendam. Jebulnya, baru separuh jalan.

Rupanya, itulah tendensi manusiawi yang secara potensial hidup juga dalam diri saya: balas dendam. Yang jahat haruslah dibalas. Dibasmi. Diluluh lantakkan. Akan tetapi, jawaban Guru dari Nazareth terhadap tendensi itu mengejutkan juga. Setelah beliau menyodorkan cerita bagaimana para penggarap kebun anggur menjahati utusan pemilik kebun bahkan sampai membunuh anaknya sendiri, ditanyakannya pendapat para imam kepala dan sesepuh bangsa Yahudi kira-kira apa yang akan dilakukan pemilik kebun anggur itu. Mereka menjawab dengan tendensi manusiawi tadi: habisi penggarap jahat itu dan sewakan kebun kepada penggarap lain.

Guru dari Nazareth malah mempertanyakan apakah mereka tak ingat apa yang dituliskan dalam Kitab Suci: batu yang dibuang oleh tukang bangunan, telah menjadi batu penjuru. Sebetulnya saya tak tahu hubungannya, tetapi kira-kira Guru dari Nazareth ini mengafirmasi klausa kedua jawaban para pemuka agama itu: Kerajaan Allah akan diambil dari mereka dan diberikan kepada bangsa yang akan menghasilkan buah. Seharusnya para pemuka agama itu tahu bahwa cerita itu menginsinuasikan bahwa mereka mandul, tak menghasilkan buah seperti diharapkan Allah bagi orang-orang beriman. Bagaimana mereka menghidupi agama tidak membawa kebahagiaan. Padahal, bukankah itu yang dicari banyak orang?

Cerita Guru dari Nazareth itu setidak-tidaknya menggarisbawahi bagaimana Allah tak pernah berhenti mengupayakan supaya kebun anggur yang disewakannya itu menghasilkan buah berlimpah. Apa daya, penggarap kebun anggur, yang jelas merujuk pada bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah, menolak penyertaan Allah.

Mengesampingkan Allah, menolak pesan-Nya, mengabaikan warta gembira-Nya, bisa jadi suatu tren dalam hidup manusia. Cara memandang, cara menilai, cara merasa orang seperti ini akan memenuhi kriteria-kriteria manusiawi. Seluruh pertimbangan dalam hidupnya semata berdasarkan rasionalitas pasar, kedangkalan relasi, perhitungan untung rugi, sedemikian rupa sehingga agama jadi mandul; diam seribu bahasa terhadap ketidakadilan, penindasan, eksploitasi, dan seterusnya. Barangkali, kepentingan dasariah di baliknya adalah kenyamanan diri, dan persis itulah yang membuat hidup keagamaan jadi mandul karena ikut arus mentalitas manusiawi belaka.

Begitulah membunuh Tuhan, tidak melibatkan-Nya dalam pengambilan keputusan hidup bersama. Semuanya jadi perkara kepentingan dan kemuliaan ego, yang dianggap sebagai pusat dunia, dan banyak pusat dunia saling berebut kekuasaan. Nietzsche betul juga.

Ya Tuhan, mohon terang-Mu supaya setiap keputusan yang kami ambil sungguh-sungguh melibatkan cinta-Mu semata. Amin.


MINGGU BIASA XXVII A/2
4 Oktober 2020

Yes 5,1-7
Flp 2,1-11
Mat 21,33-43

Minggu Biasa XXVII A/1 2017: Manusia Berkerobotan
Minggu Biasa XXVII A/2 2014: Yang Diceraikan Allah, Janganlah Dipersatukan Manusia