Mungkin ada benarnya kata filsuf Hegel bahwa doa pagi orang modern adalah bacaan koran harian, entah versi cetak atau digital. Koran zaman now tentu saja bisa berarti aneka media sosial. Sebagian pembacanya memang bisa menempatkannya sebagai bagian dari doa, tetapi mungkin kebanyakan dari kelompok itu hanya menambahkannya sebagai distraksi orang sekuler. [Menurut KBBI, sekuler berarti bersifat duniawi atau kebendaan.] Lha iya, wong seluruh persoalan hidup ini bisa dipecahkan dengan hitungan matematis dan materialis kok!
Kalau posting kemarin saya akhiri dengan kegagalan karakter Marta memaknai kesibukannya karena aneka distraksi, posting hari ini memberi alternatif bagaimana hiruk pikuk aktivisme orang modern bisa mendapatkan pemaknaannya. Ceritanya para murid minta diajari berdoa. Akan tetapi, saya kira mereka ini tak beda dari orang-orang beragama zaman now yang mentalitasnya ikut-ikutan. Mereka minta diajari berdoa seperti murid-murid Yohanes Pembaptis juga diajari berdoa. Akibatnya, bisa jadi mereka jatuh pada formalisme doa, jadi rumusan atau mantra yang tak sambung dengan hidup orang yang melafalkannya.
Terus terang, ketika saya mengajak umat untuk berdoa sebagaimana diajarkan oleh Guru dari Nazareth, sebetulnya saya tidak yakin bahwa ajakan saya disambut positif.
Loh, bukannya seluruh umat di gereja njuk mendaraskan atau menyanyikan lagu atas dasar rumusan doa yang disodorkan dalam teks bacaan hari ini ya, Rom? Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu, dan seterusnya…
Justru itu persoalannya. Jangan-jangan umat itu ya cuma latah melafalkannya lantaran sedang menjalankan ibadat ritual di gereja, entah pikirannya ke mana!
Lah, emangnya mestinya pikirannya ke mana, Rom?
Ya mboh. Mungkin malah tak perlu ke mana-mana.
Akan tetapi, saya yakin bahwa Guru dari Nazareth tidak bermaksud menyodorkan rumusan doa untuk dihafalkan. Rumusan doa yang diberikannya kepada para murid itu pertama-tama adalah bingkai batin untuk merangkai kehidupan yang begitu terpecah-pecah menjadi mosaik indah seturut azas dan dasar hidup manusia.
Dengan bingkai itu, orang beriman seyogyanya memperlakukan Allah bukan pertama-tama sebagai hakim, melainkan sosok sesepuh yang sangat approachable, yang pantas dimuliakan. Dengan demikian, seluruh keping hidup manusia beriman perlu diletakkan dalam konteks memuliakan sesepuh yang approachable tadi. Tidak ada cara pemuliaan selain dengan mendatangkan kerajaan-Nya, yang hanya mungkin terjadi jika kehendak-Nya yang senantiasa dicari dan diwujudkan dalam hidup manusia.
Di situ, orang beriman tak bisa hidup sendirian: juga dalam mengejar rezeki, ia mesti mempertimbangkan bahwa orang lain memiliki kepentingan yang sama. Maka dari itu, orang beriman tidak menumpuk kapital demi kapitalnya sendiri, tetapi demi rezeki bersama. Dalam ikhtiar seperti ini, orang memang bisa jatuh dalam pemutlakan ego. Ia butuh pengampunan, tetapi juga rahmat untuk memberikan pengampunan. Selain itu, orang beriman mengandalkan Allah yang mestinya berkenan membantu manusia rapuh untuk mentas dari kubangan kejahatan.
Bingkai seperti itu memang dirangkum dalam doa Bapa Kami yang dipakai dalam ritual agama Kristen/Katolik. Akan tetapi, sekali lagi, tidak selalu pendoanya adalah mereka yang berlabel Kristen/Katolik. Bisa jadi label dan rumusannya berbeda, tetapi bingkai untuk memaknai hidup ya kurang lebih seperti itu. Namanya juga azas dan dasar, mestinya berlaku untuk setiap orang beriman.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami menemukan sakralitas hidup kami yang sekular ini. Amin.
RABU BIASA XXVII A/2
Pw SP Maria Ratu Rosario
7 Oktober 2020
Rabu Biasa XXVII B/2 2018: Hoaks sampai Kiamat
Rabu Biasa XXVII C/2 2016: Doa Nafas
Rabu Biasa XXVII A/2 2014: Don’t Forget the Poor
Categories: Daily Reflection