You are A Miracle

Kemarin sudah disodorkan doa sebagai suatu bingkai pemaknaan bagi manusia rapuh yang terpecah-pecah oleh aneka tarikan kefanaan hidup sekuler. Hari ini teks menyajikan penutup ajaran doa itu dengan perumpamaan. Perumpamaan ini kerap disalahtafsirkan sehingga orang berkeyakinan naif bahwa apa saja yang diminta orang beriman dalam doa akan dikabulkan Tuhan. Kesalahpahaman ini jugalah yang membuat orang modern secara naif menganggap doa tiada guna. Daripada menghabiskan waktu untuk berdoa, mending waktunya dipakai untuk cari cara pemecahan masalah dengan aneka sains dan teknologi, bukan?

Lah, kenapa dua-duanya disebut naif, Rom? Singkatnya, IMHO, karena orang menganggap doa semata sebagai kegiatan ritual, pengucapan mantra atau repetisi rumusan; pokoknya sebagai salah satu kegiatan fana seperti jual beli di pasar, entah tradisional atau digital. Tentu ini butuh perenungan lebih lanjut, tetapi baiklah saya kutip saja sebuah cerita tetangga jauh tentang seorang rahib suci yang hidup bersama beberapa biarawan lainnya dan kedatangan tamu dari jauh. Rahib itu memang terkenal karena kesuciannya dan tamu itu bertanya-tanya kepada biarawan di sana mukjizat apa saja yang pernah dibuat oleh rahib yang kudus itu.

Biarawan itu menjawab kurang lebih begini. Bagi orang lain, mukjizat berarti mereka sukses membuat Allah memenuhi kemauan mereka. Bagi kami, mukjizat berarti Allah berhasil membuat orang memenuhi kehendak Allah.
Fokus yang pertama tentu saja kemauan atau keinginan manusia. Maka, doa disebut berhasil jika keinginan orang terpenuhi. Gimana caranya, pokoknya permohonannya terkabul. Bagi orang seperti ini, doa adalah perkara realisasi keinginan manusia dengan campur tangan ilahi. Alhasil, kalau belum terkabul, mereka bisa mengevaluasi diri: barangkali kurang tulus, kurang intensif, kurang waktu, kurang serius, dan seterusnya.

Itu berbeda dengan fokus yang kedua, yaitu kehendak Allah. Doa adalah perkara terpenuhinya kehendak Allah dalam hidup manusia. Artinya, itu adalah keberhasilan Allah menyodorkan gambaran cinta dan belas kasih-Nya dalam totalitas hidup manusia. Kalau itu terjadi, menurut pertapa tadi, itu baru namanya mukjizat.
Nah, gimana supaya mukjizat seperti itu terjadi? Teks bacaan hari ini memang mengindikasikan doa yang intensif dan butuh waktu, tetapi bukan dalam arti pengulangan rumusan yang lama, melainkan dalam arti orang butuh ikhtiar dan waktu yang cukup untuk menerima bahwa cinta dan belas kasih Allah tadi adalah segala-galanya bagi hidup manusia sendiri. Orang butuh waktu untuk dapat menginternalisasikan cinta dan belas kasih Allah tadi dalam hidupnya.

Orang beriman sewajarnya membawa keprihatinan dan harapannya dalam doa, tetapi pada akhirnya dia mesti perlahan-lahan mendengarkan ‘suara lain’, yang tidak lain ialah bingkai pemaknaan yang kemarin sudah diulas. Orang beriman yang berhasil dalam doanya ialah mereka yang melihat hidupnya bukan dalam perspektif kepentingan dirinya sendiri, melainkan dalam perspektif Allah yang memandang dunia fana ini. Itulah mukjizat: ketika orang mengalami pertobatan, transformasi, perubahan dari pikiran sempit dan keterkungkungan ambisi pribadi.

Dengan begitu, doa tak perlu direduksi sebagai tindakan ritual, tetapi sungguh menjadi ikhtiar kesadaran orang untuk senantiasa menghubungkan cinta dan belas kasih Allah dengan aneka macam kerecehan hidupnya.
Tuhan, mohon rahmat supaya hidup kami sungguh jadi mukjizat-
Mu. Amin.


KAMIS BIASA XXVII A/2
8 Oktober 2020

Gal 3,1-5
Luk 11,5-13

Kamis Biasa XXVII B/2 2018: Memelihara Semangat
Kamis Biasa XXVII C/2 2016: Mbok Serius
Kamis Biasa XXVII A/2 2014: Keinginan Yang Melecehkan Kebutuhan