Disinformasi, Malin(g)formasi?

Pernahkah Anda difitnah sebagai orang yang suka membuat fitnah, atau dituduh maling oleh pelaku pemalingan, atau digosipkan sebagai penindas rakyat oleh mereka yang hendak merebut kekuasaan, atau dianggap pengkhianat oleh mereka yang munafik? Kalau Anda sedang mengalaminya, berbahagialah, karena itu pertanda Anda sedang berada dalam track yang benar. Orang jahat bisa memakai slogan yang baik ketika orang baik menanggalkannya. Soalnya, orang baik tak lagi membutuhkan slogan, ia sudah menghidupinya.

Saya rasa mengikuti teladan Guru dari Nazareth atau guru-guru kehidupan lainnya itu tidak gampang. Teks bacaan hari ini menyodorkan adegan ketika beliau dituduh di hadapan publik bahwa kekuatannya berasal dari bosnya setan. Nanti, kalau dilihat akhir kisah hidupnya, kelihatan bahwa para penuduhnyalah justru yang memakai kekuatan setan untuk membikin kericuhan, membuat demonstrasi dengan kata-kata kasar dan fitnah tanpa data yang benar. Tanggapan Guru dari Nazareth sebetulnya sederhana: menunjukkan lubang argumentasi fitnahan itu sehingga fitnahan itu tak jadi disinformasi yang bisa bikin kericuhan #eh.

Tentu saja, tidak semua fitnahan bisa dihadapi dengan tanggapan seperti itu. Tak usahlah menilik demo UU Cipta Kerja. Sekurang-kurangnya menurut pengalaman saya yang terbatas, data dan fakta tidak akan bisa mengubah mindset orang yang terkena propaganda atau sudah tercuci otaknya atau gemar berhalusinasi atau delusi atau mungkin punya posisi. Saya pernah dituduh mencontek sewaktu kelas 4 SD. Waktu itu prestasi saya masih dalam rentang tiga besar di kelas, dan ketika guru saya menuduh saya di hadapan seluruh teman-teman, saya tak sampai hati untuk mematahkan argumentasi guru saya dengan melontarkan pertanyaan,”Untuk apa saya mencontek dari teman saya yang prestasinya jauh di bawah saya?” Tentu saja, itu pertanyaan arogan, meskipun cukup untuk menggoyahkan tuduhan. Maka, saya diam saja setelah menyatakan bahwa saya tidak mencontek, sebagaimana dituduhkan oleh guru saya.

Persoalannya, tuduhan itu rupanya terus dibawa oleh guru saya sampai akhir tahun pelajaran dan saya menyimpannya sebagai luka. Itulah luka batin, dan sejak itu saya tak pernah mencontek, bukan karena mencontek itu tidak baik bagi aktualisasi diri saya, melainkan karena saya ingin membuktikan kepada dunia bahwa saya tidak senista seperti yang dituduhkan guru saya. Luka itu baru sembuh setelah saya mendapat rahmat pengampunan dan bisa mengatakan let it go. Saya hidup bukan untuk membuktikan kepada guru atau kepada siapa pun bahwa saya begini atau begitu. Loh… kok jadi curcol….

Saya kira, Guru dari Nazareth sudah katam dengan problem luka batinnya. Katam dalam arti menyudahi kenyataan gelap, yang dijumpainya di sana sini, dengan meletakkannya dalam perspektif cinta Allah kepada ciptaan-Nya. Ini yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang membuat fitnah atau yang bikin gaduh, juga seperti saya yang belum mampu mengampuni: melihat kenyataan gelap sebagai ajang pemuliaan diri, alih-alih memuliakan Allah; memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mengail di air keruh. Begitulah kenyataan hidup orang yang tak beriman, bahkan meskipun label agamanya tebal dan berlapis-lapis.

Tuhan, mohon rahmat kejernihan batin untuk melihat kenyataan gelap di sekeliling kami sebagai momen untuk menemukan dan menyatakan kehendak cinta-Mu. Amin.


JUMAT BIASA XXVII A/2
9 Oktober 2020

Gal 3,7-14
Luk 11,15-26

Jumat Biasa XXVII B/2 2018: Roh Jahat Tolol
Jumat Biasa XXVII C/2 2016: Sedihnya Jadi Pastor
Jumat Biasa XXVII A/2 2014: Dari Jongos ke Bos

1 reply

  1. Membaca tulisan ini, mengingatkan pada Puisi Thich Nhat Hanh, Pls Call Me By My True Names, Tolong Panggil Aku Dengan Nama Sejatiku.
    Puisi itu ditulis th 1978 sekitar masa Perang Vietnam (orang Vietnam menyebutnya Perang Amerika). Waktu itu banyak pengungsi, orang perahu, yang melarikan diri dari Vietnam. Lalu ada berita perihal orang perahu berusia 12 tahun, dianiaya dan mati di laut oleh bajak laut. Dia menulis demikian: saya gadis 12 tahun, pengungsi di atas perahu kecil, yang melemparkan dirinya ke laut, setelah diperkosa oleh bajak laut. Dan aku bajak lautnya, hatiku belum mampu melihat dan mencintai.
    Ada 3 sosok dalam cerita itu. Manusia perahu, bajak laut, dan diri kita sendiri. Masing2 saling terhubung oleh penderitaan, nmn dengan kemungkinan bertransformasi, saling mengikat dalam rasa sakit dan kegembiraan yang sama/bersama. Pemberian nama pada sosok2 memberikan ilusi keterpisahan, sehingga menjadi sukar dibayangkan kebersamaannya. Pdhl kita adalah nafas dan ritme universal, berdenyut dalam nafas kelahiran dan kematian yang sama. Kita seharusnya adalah jaringan mutualisme yang tidak terpisahkan. Mereka menyebutnya dengan istilah interbeing.
    Beberapa kalimat kutipan puisinya: ….
    Tolong panggil aku dengan nama sejatiku, jadi aku bisa mendengar semua tangisan dan tawa sekaligus, jadi aku bisa melihat bahwa kegembiraan dan kesakitan adalah satu.
    Betapa mns bukannya smkn belajar, malahan membuat dunia smkn mengalami keterpisahan.

    Liked by 1 person