Berani Hidup Kekal?

Harus diakui bahwa yang fana memang lebih memikat perhatian daripada yang kekal. Kenapa? Karena kefanaan terikat dengan biologi dan apa saja yang bersifat biologis lebih mudah ditangkap indra. Yang ditangkap indra inilah yang memberi sensasi, dan sensasi itu bisa menyenangkan atau tidak menyenangkan. Yang menyenangkan didekati, yang tak menyenangkan dihindari, kalau tidak dijauhi. Dari sinilah prinsip like-dislike berasal. Prinsip ini sangat membantu orang untuk menjadi pribadi yang moody alias mut-mutan

Sebaliknya, yang kekal tak dapat ditangkap orang tanpa sekurang-kurangnya bantuan akal. Kenapa? Ya karena kekekalan tak terikat dengan wujud biologis, meskipun terhubung dengannya. Tak ada orang yang melihat atau mencium kekekalan energi. Fisikawan James Joule menemukan hukum kekekalan energi dengan bantuan akal. Akan tetapi, tak banyak orang yang berakal, apalagi dengan hati tulus tanpa kontaminasi fulus, memperjuangkan kepentingan omnibus. Lebih banyak orang memakai akalnya seperti bulus supaya keinginan pribadinya berlangsung mulus.

Saya tak hendak masuk dalam perkara omnibus law karena saya tak begitu melek hukum, tetapi saya percaya sekurang-kurangnya itu dibuat dengan niat baik. Memang niat baik saja tidak cukup, tetapi reaksi dengan demonstrasi yang rentan kerusuhan bukanlah tanggapan orang berakal. Ini hanya representasi makhluk yang gemar sensasi dan akalnya terkubur oleh kepribadiannya yang mut-mutan seturut kepentingan dirinya sendiri. Dalam diri orang seperti ini, kefanaan jelas lebih menarik daripada kekekalan: lempar molotov, lempar ban bernyala, merusak fasilitas umum, dan sejenisnya. Kekekalan tak menarik, ditanggalkan, kalau perlu lari daripadanya: tanggung jawab.

Teks bacaan hari ini sangat singkat. Setelah aneka ajaran dan tindakan Guru dari Nazareth yang membuka akal budi banyak orang, seseorang melontarkan pujian, tetapi pujiannya itu juga tertambat pada kefanaan. Katanya, betapa bahagianya ibu yang mengandung dan menyusui Guru dari Nazareth itu. Akan tetapi, sang Guru mengoreksi pujian itu. Kebahagiaan sejati tak pernah mendapatkan alasannya dari kefanaan: sensasi akibat relasi biologis, kegembiraan karena kesamaan asal suku, agama, ras, dan sebagainya. 

Kebahagiaan sejati datang dari yang kekal, yang tidak melekat pada apa yang bisa ditangkap dengan indra, tetapi pada akal budi yang sinkron dengan hati yang tertambat pada kekekalan. Dalam teks bacaan hari ini, kekekalan itu ialah perkara menjaga Sabda Allah supaya menemukan jalurnya menuju manifestasi yang fana. Kalau melihat penuturan dalam kabar yang saya baca, begitu ada pelemparan molotov ke rumah makan, ada peserta demo yang berusaha membantu memadamkan api. Meskipun tak berhasil, tindakan membantu pemadaman kebakaran itu lebih merujuk pada hukum kekekalan daripada pelemparan molotov: sekurang-kurangnya di situ terlihat benih Sabda Allah yang tidak menginginkan kehancuran hidup lantaran provokasi dan perbuatan yang mengabaikan tanggung jawab bersama.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami boleh mengalami kebahagiaan semata karena Sabda-Mu yang juga hidup di tengah-tengah kefanaan hidup kami. Amin.


SABTU BIASA XXVII A/2
10 Oktober 2020

Gal 3,22-29
Luk 11,27-28

Sabtu Biasa XXVII B/2 2018: Game of Words 
Sabtu Biasa XXVII C/2 2016: Revolusi Spiritual
Sabtu Biasa XXVII A/2 2014: Lebih Baik dari Asi, Adakah?