Kemarin berseliweran rekaman video tentang ‘interogasi’ peserta demo omnibus law yang sebagian besar menandaskan bahwa mereka tak mengerti apa yang mereka protes. Pokoknya dapat bayaran, pokoknya rame-rame, bakar-bakar, tumis-tumis, goreng-gorenglah. Syukurlah, tidak ada demonstrasi tandingan pendukung omnibus law dan peserta demonya diwawancarai. Kalau ada, bisa jadi hasilnya juga sama: menegaskan bahwa mereka tak mengerti apa yang mereka dukung. Ini masuk akal, lha wong sampai sekarang jebulnya (draf) omnibus law cuma dipegang segelintir orang dari ratusan juta penduduk Indonesia je, gimana orang mau mengerti apa yang diprotes atau apa yang didukung, jal?
Meskipun demikian, kemarin seorang kawan mengingatkan bahwa sesuatu yang baik itu memenuhi tiga ranah kebaikan: (1) niat atau motivasinya baik, (2) cara pelaksanaannya baik, dan (3) akibat atau hasilnya baik. Ini berlaku baik bagi yang membuat omnibus law maupun bagi pendemo atau pendukungnya. Kalau bikin ya seyogyanya orang menguji tiga hal itu; kalau protes terhadapnya juga orang mesti merujuk tiga hal itu; begitu juga kalau orang mendukungnya. Nah, karena omnibus law ini tak terakses oleh seluruh rakyat Indonesia, which is (biar kelihatan bisa bahasa Inggris lagi) sesuatu yang masuk akal karena tidak semua warga bisa membaca dan mengerti bahasa hukum, sekurang-kurangnya para akademisi dan pihak-pihak yang terkait langsung dengan omnibus law diberi ruang dan waktu untuk menelaah drafnya dan berdialog. Kalau ini tidak ada, pembuatan omnibus law boleh lolos uji untuk niat baiknya, tetapi niat baik itu bisa tercoreng oleh pembuatannya yang tak mengakomodasi kepentingan luas.
Teks bacaan hari ini menggambarkan pentingnya kepentingan luas itu: supaya hidup fana ini sedekat mungkin dengan hidup surgawi. Mana mungkin, Rom? Lha ya justru itu; kemungkinannya sebesar kemungkinan akomodasi kepentingan luas. Itu juga mengapa niat baik saja tidak cukup. Perumpamaan jelas menggambarkan betapa sang raja menginginkan sebanyak-banyaknya orang ikut berpesta. Sayang beribu sayang, orang-orang yang diundangnya menolak, dan yang akhirnya datang pun tidak siap dengan pesta itu. Ini adalah gambaran kemungkinan hidup fana ini menjadi hidup surgawi: tipis saja.
Akan tetapi, itu tidak mengatakan bahwa kemungkinannya nol. Kalau kemungkinannya nol, ngapain para nabi itu eksis di dunia fana ini dong?
Perumpamaan yang disodorkan Guru dari Nazareth ini punya latar belakang kehidupan masyarakat agraris yang waktu itu jelaslah penuh kesengsaraan, apalagi dalam kondisi penjajahan bangsa asing. Dalam keadaan penderitaan memuncak itu, pemuka agama bisa menyesatkan harapan pembelakang mereka dengan ajaran semu: kelak Allah sendiri yang akan mengakhiri ini semua dengan pesta perjamuan sebagaimana dideskripsikan dalam bacaan pertama.
Pada kenyataannya, itulah yang diajarkan pemuka agama Yahudi saat itu: kelak Allah akan menyelenggarakan pesta di dunia sana bagi mereka yang taat perintah agama di dunia sini.
Guru dari Nazareth datang dan memprotes ajaran sesat itu. Ngapain Allah mengadakan pesta di dunia sana dan mesti didengar orang di dunia sini? Kalau Dia mau bikin pesta, ini bukan pesta kelak di dunia sana, tetapi di dunia sinilah justru Dia menghendaki pestanya! Dunia sini jadi dunia baru.
Dunia baru itu mesti mengakomodasi bagi semua: (1) kebahagiaan, alih-alih hedonisme, (2) gratuitousness (saya tak bisa menerjemahkannya) karena Allah jadi yang utama, alih-alih mekanisme pasar kapitalis, dan (3) ‘makan bersama’, alih-alih kenyang perut sendiri.
Tuhan, mohon rahmat supaya hidup kami sungguh dapat mencirikan pesta sebagaimana Kau kehendaki bagi semua. Amin.
MINGGU BIASA XXVIII A/2
11 Oktober 2020
Yes 25,6-10a
Flp 4,12-14,19-20
Mat 22,1-14
Posting 2017: Pintar Peduli
Posting 2014: Sensi Itu Ada Gunanya
Categories: Daily Reflection