Kesucian Milenial

Dalam tradisi agama-agama, ada sebagian orang yang jenazahnya tetap utuh sampai belasan atau puluhan tahun setelah kematiannya. Ini biasanya dikaitkan dengan rida Allah atas kesucian yang dihidupi oleh orang yang bersangkutan. Dalam Gereja Katolik, fenomena ini bisa jadi bagian dari proses beatifikasi dan kanonisasi yang pada umumnya begitu lama sebelum akhirnya bisa disebut sebagai santo atau santa. Kemarin sudah dimulai proses beatifikasi untuk seorang anak milenial yang bernama Carlo Acutis, yang diperingati setiap tanggal 12 Oktober.

Konon dia adalah seorang gamer dan programmer dengan hidup seperti biasa anak remaja pada umumnya. Meninggal pada tahun 2006 karena sakit leukemia, tetapi jejak kehidupannya memang mengindikasikan kemampuannya menghayati kefanaan hidup ini dalam relasi dengan yang kekal. Ada tayangan media sosial yang mengutip ungkapan Carlo Acutis, yang kiranya bisa jadi catatan yang baik: banyak orang lahir sebagai orang asli, tapi mati sebagai fotokopi.😂 Tentu maksudnya ialah bahwa sebagai ciptaan Allah, banyak orang hidupnya berakhir dalam keadaan terkontaminasi oleh kefanaan. Kontaminasi berarti bahwa yang kemarin saya singgung sebagai hidup biologis itu menentukan orientasi dasar kejiwaan orang.

Kegemaran Carlo Acutis pada dunia dunia komputer tidak menggoyahkan orientasi jiwanya untuk menjadi sahabat Tuhan dan sepertinya dia memang punya passion yang luar biasa untuk menarik semakin banyak jiwa kepada Tuhan. Bagaimana dia melakukannya? Dengan dokumentasi mukjizat Ekaristi? Dengan devosi rosarionya? Dengan misa hariannya?
Itu memang dilakukannya, tetapi itu hanyalah sarana yang dihidupinya, sebagai mainboard yang memungkinkan proses elemen-elemen lain terintegrasi dan memberikan output yang dibutuhkan orang lain. Maka dari itu, orang tetap perlu melihat prosesor yang ditanamkan dalam perangkat itu, yang tak lain adalah Roh Allah sendiri, yang tak terkontaminasi oleh kefanaan, meskipun pasti berurusan dengan kefanaan.

Beato Carlo Acutis, seperti John Beyzy yang jauh hari sebelumnya membaktikan dirinya untuk penderita kusta, menarik jiwa orang lain untuk menjadi sahabat Tuhan bukan pertama-tama dengan wacana teologis, melainkan terutama dengan kesaksian hidupnya. Saya kira, dua orang ini happy di tengah-tengah kenyataan gelap hidup manusia karena mereka melihat tanda bahwa Allah senantiasa bekerja dan mereka terpanggil untuk melibatkan diri dalam kerja Allah itu. Rupanya kepada Carlo Acutis dan John Beyzy diberikan tanda selain tanda Yunus, atau lebih tepatnya, mereka melihat tanda selain tanda Yunus.

Sebetulnya saya tidak tahu tanda Yunus itu apa, tetapi kalau menilik kisahnya, itu merujuk pada kerahiman atau belas kasih Allah kepada para pendosa. Ini berlawanan dengan sikap Yunus yang maunya orang-orang brengsek itu dihukum saja, tak perlu dikasih waktu untuk tobat. Bisa jadi ini malah merupakan penyakit orang beragama: merasa diri sempurna dan bersih dan karenanya tak mau berurusan dengan mereka yang dalam terminologi Beato Carlo Acutis tadi disebut fotokopi. Beato Carlo justru berupaya supaya orang-orang tidak jadi fotokopi, tetapi sungguh kembali ke fitrah Allah yang berbelas kasih dan maharahim itu.

Ya Tuhan, mohon rahmat kepekaan hati supaya kami dapat menangkap tanda kerahiman-Mu dalam hidup kami dan menyatakannya dalam kata dan perbuatan kami. Amin.


SENIN BIASA XXVIII A/2
Beato John Beyzy (SJ)
Beato Carlo Acutis
12 Oktober 2020

Gal 4,22-24.26-27.31;5,1
Luk 11,29-32

Senin Biasa XXVIII A/1 2018: Dendang Bantilang
Senin Biasa XXVIII C/2 2016: Hello, Farisi

Senin Biasa XXVIII A/2 2014: Roh Apa Yang Bergentayangan?