Roh Jahat Tolol

Di fesbuk saya tadi mak sliwêr pernyataan yang bunyinya kurang lebih begini: meskipun ada banyak manusia berhati malaikat, tetap ada cobaan setan berwajah manusia. Seperti dalam pembedaan roh tingkat lanjut, ini berarti orang perlu waspada terhadap roh jahat yang menyamar sebagai roh baik. Di panggung politik memang masih ada representasi roh jahat yang polos bin tolol, yaitu mereka yang meneriakkan penggantian sistem pemerintahan negara majemuk ini, tetapi yang susah ditengarai adalah mereka yang bekerja senyap demi menghentikan presiden yang sekarang ini. Bisa saja mereka ini memuji kinerja pemerintah, tetapi bukan karena kinerja itu pantas dipuji, melainkan supaya pujiannya menarik simpati mereka yang pro pemerintah, dan dengan demikian suara bisa bergeser ke kubu pemuji ini, eaaaaa….

Tapi sudahlah, itu intermezzo komentar untuk ranah politik. Berhubung saya bukan ahli politik, lebih baik kembali ke persoalan kesetanan tadi. Setan ini lebih kuat daripada manusia, mesti menangnya terhadap manusia begitu manusia mau berkompromi dengannya. Setan ini juga lebih kuat daripada agama yang punya konsesi dengannya. Loh, mosok agama bisa berkonsesi dengan setan, jadi agama setan gitu? Ya why not mengapa tidak? Bukankah pemain utama agama itu manusia juga, yang bisa berhati malaikat tapi juga bisa jadi manifestasi setan?

Saya tidak tahu bagaimana mengambarkan manusia berhati malaikat, persis karena tadi itu: kebaikan pun bisa jadi kamuflase wajah roh jahat. Sesuatu disebut baik itu mesti mempertimbangkan banyak hal (motif, cara, tujuan) sehingga tak bisalah saya menyebut tindakan ini atau itu baik, yang itu jelek. Memang menguji ketulusan itu ya gak gampang, eaaaa….
Meskipun demikian, ada indikator penting untuk melihat apakah orang memanifestasikan kekuatan setan atau malaikat. Indikatornya saya tarik dari teks bacaan hari ini: Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan. Aku di situ maksudnya Allah. Njuk siapa yang bisa mengklaim dia bersama Allah atau tidak, Mo? Bukankah justru itu persoalannya?
Betul, tetapi di situ juga ditunjukkan indikator berikutnya: mengumpulkan atau mencerai-beraikan.

Teks bacaan hari ini omong soal kuasa, soal power relation dan dengan demikian, power relation yang sehat ialah yang berorientasi mengumpulkan, menjadi jembatan, bukan yang mencerai-beraikan atau membuat dinding pemisah. Dalam agama Katolik sekarang ini sedang diributkan persoalan homoseksualitas, dan di salah satu negara di Eropa sana terlihat bagaimana kuasa tadi, dalam hubungannya dengan Vatikan, mengalami abuse. Alih-alih duduk bersama, agen dalam struktur yang lebih tinggi memakai powernya untuk menghentikan rembugan mengenai homoseksualitas. Memang lebih mudah melihat hidup secara konservatif hitam putih, meskipun kenyataan hidup ini tidak hitam putih.

Saya kira, kuasa yang dari iman kepada Allah justru membantu orang untuk melihat wilayah abu-abu supaya semakin banyak orang yang tercerahkan, terbebaskan, dan sungguh mengalami Kabar Gembira Allah. Kuasa yang sebaliknya, hanya berorientasi pada vanity, arogansi untuk mengatakan bahwa seseorang lebih baik, lebih benar, lebih murni daripada yang lainnya.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami sungguh semakin cinta pada-Mu dan sesama. Amin.


JUMAT BIASA XXVII B/2
12 Oktober 2018

Gal 3,7-14
Luk 11,15-26

Jumat Biasa XXVII A/1 2017: ES: Eh Stupid
Jumat Biasa XXVII C/2 2016: Sedihnya Jadi Pastor
Jumat Biasa XXVII B/1 2015: Agama Frustrasi

Jumat Biasa XXVII A/2 2014: Dari Jongos ke Bos