What are you doing?

Pernahkah Anda tinggal bersama orang yang super sibuk? Bangun pagi langsung meraih hapenya, ke kamar mandi untuk download olahan makanan dari perut ke jamban sambil mengontrol trading pada tabnya, mandi-sarapan kilat, berangkat kerja tergopoh-gopoh, kerja ke sana kemari seturut aneka macam proyek dan program, istirahat sejenak, itu pun dengan kesibukan lain via gawainya, pulang sore hari dalam kemacetan, tiba di rumah dalam kelelahan, tak punya banyak waktu untuk mereka yang di rumah. Esok paginya rutinitas seperti itu dijalankan lagi. Jangan-jangan, malah Anda sendiri yang memiliki rutinitas seperti itu ya? Saya tidak berani mengatakan bahwa kesibukan seperti itu adalah rutinitas receh yang tidak penting. Pasti pentingnya!

Akan tetapi, justru di situlah persoalannya. Kalau kepada orang seperti itu ditanyakan di mana pentingnya, ke arah mana dia berjalan, apa yang dikejarnya, apa yang diperjuangkannya, bisa jadi loh dia tak bisa menjawabnya. Maksud saya, jawabannya paling ya gitu-gitu aja: demi sesuap nasi dan segenggam emas atau sebongkah berlian. Kesibukan tingkat dewa itu dijalaninya untuk survival, baik mulut maupun perut, tetapi tak melibatkan hati dan budi. Padahal, hati dan budi inilah yang justru jadi modal penting untuk menikmati kefanaan tanpa tergilas kesia-siaan.

Gambaran Marta dalam teks bacaan hari ini kiranya klop dengan keadaan seperti itu. Yang dilakukannya tentu penting sebagai keramahtamahan bin hospitalitas. Kesibukan ini itu memang diperlukan, tetapi tanpa elemen yang ditunjukkan Maria, orang bisa tersedak hidupnya, salah jalan atau tersesat. Tentu saja ini bukan melulu gambaran orang tua yang sibuk bekerja, melainkan juga anak muda yang aktif ke sana kemari melakukan kebaikan, menyalurkan sumbangan, bantuan, mengikuti aneka kegiatan ekstrakurikuler atau unit kegiatan mahasiswa, dan seterusnya. Bukan kegiatan atau tindakannya sendiri yang bermasalah, melainkan pelakunya, yang tidak mengadopsi elemen yang digambarkan oleh sosok Maria tadi. Apakah itu?
Mendengarkan.

Lah, bukankah orang-orang tadi sibuk justru karena mereka mendengarkan orang lain, kebutuhan keluarga, update berita, atau target-target yang harus dipenuhi, Rom? Bukankah kemarin juga dibahas bahwa orang beriman itu antisipatif dan solutif: tak perlu menunggu sampai orang berteriak-teriak jadi korban ketidakadilan?
Oh iya, betul. Kurang lengkap jawabannya: mendengarkan Sabda Allah.

Mendengarkan Sabda Allah tak perlu ditangkap secara letterleijk ambil posisi duduk nguping siaran TV atau radio Sabda Allah, membaca blog Versodio dan sejenisnya. Pun membaca dan menonton televisi, bahkan mengikuti misa streaming, tak pernah jadi tindakan ‘mendengarkan Sabda’ kalau orang tidak menyelisik batinnya sendiri: ngapain hidup, untuk apa, ke mana, sedang di mana atau sudah sampai tahap mana, dan seterusnya. Marta terlalu banyak distraksi sehingga tidak hepi dan julid, njuk nyinyir mengenai apa saja yang dibuat orang lain.

Pada momen seperti itu, kesia-siaan mendapatkan wujudnya. Orang gagal meletakkan hidupnya yang parsial dalam keseluruhan atau keutuhan cinta Allah yang mengalir ke segala arah. Problemnya bukan cinta Allah yang mengalir ke segala arah, melainkan orangnya berlari ke segala arah karena tidak tahu mau ke mana dan ngapain dengan hidupnya. Ia tak bisa memberi makna pada aktivitasnya, semua tercerai berai terserap mood yang berubah seturut prinsip like-dislike. Tak ada momen untuk refleksi, rekoleksi, retret, menyendiri untuk meninjau ulang seluruh ruang hidupnya: persahabatan, keluarga, kerja, dan sebagainya.

Tuhan, mohon rahmat ketenangan batin dalam segala hiruk pikuk kehidupan kami. Amin.


SELASA BIASA XXVII A/2
6 Oktober 2020

Gal 1,13-24
Luk 10,38-42

Selasa Biasa XXVII B/2 2018: Romantika Beragama 
Selasa Biasa XXVII C/2 2016: Capek Mencinta?
Selasa Biasa XXVII A/2 2014: Cinta Mengurai Benang Kusut