Turunkan Nabi

Saya lebih nyaman dengan kloset jongkok daripada kloset duduk, meskipun saya pernah akrab dengan produk bidet (bacanya bidei saja, entah dengan aksen British atau American, tapi sepertinya itu nama orang Perancis).
Kayaknya beberapa hari lalu bahas perkara cebok, Rom, sekarang kok balik lagi ke perkara toilet. Menjijikkan!🤭
Bukannya yang menjijikkan itu yang gak cebok ya? Tapi sudahlah kita akhiri saja perkara cebok ini dan kembali ke kloset jongkok.😂

Alkisah, Tiwal dan Tiwul terpaksa beradaptasi dengan toilet di rumah juragan mereka karena yang ada hanya kloset duduk, termasuk untuk asisten rumah tangga. Meskipun tak ada bidet, baik ala Eropa maupun ala Jepang (yang lebih modern itu), mereka sudah sangat terbantu oleh jet spray di toilet untuk cebok.😂 Balik cebok lagi, Rom!
Nah, Tiwal ini sudah hafal dengan kebiasaan Tiwul untuk buang air besar: selalu setiap kali Tiwal selesai membersihkan toiletnya!

Tiwal gemes pada Tiwul, lalu mengoleskan cairan pembersih porselen ke bagian bibir kloset, yang rupanya sudah tak ada bagian penutupnya. Nota bene, kalau cairan pembersih ini mengenai kulit pantat atau paha, tentu sensasi gatal bisa bikin mringis orang yang bertahta di toilet itu. Begitulah, setelah selesai bersih-bersih toilet itu, Tiwal membersihkan perkakas di dekat toilet, dan benarlah, Tiwul masuk toilet. “Makasih ya, Wal!” [Tentu karena sudah membersihkan toilet sebelum dipakainya.]
Tiwal dalam hati tertawa berguling-guling membayangkan bagaimana pantat Tiwul akan berasa digigit 20 semut. [Kok 20, Mo? Lha ini tanggal 20.]

Tiwal berlama-lama kerja di dekat toilet menunggu Tiwul selesai. Begitu pintu toilet terbuka, sembari tertawa Tiwal langsung menyapa,”Gimana rasanya, Wul?”
“Rasanya? Ya lega dong, mana toiletnya bersih dan wangi pula.”
Tiwal terbelalak. “Loh, gak gatal pantatmu?”
“Gatal kenapa?”
“Lha, klosetnya kan tadi kuolesi cairan ****tex.”
Gak kena pantat kok,” kata Tiwul dengan lugunya.
Tiwal tepok jidat, membayangkan Tiwul berjongkok di atas kloset duduknya.🤣

Bersama Tiwul dan bacaan hari ini yang memberi pesan untuk berjaga-jaga, baiklah kita ambil pelajaran dari tulisan di sela-sela demo omnibus law beberapa waktu lalu. Pelajarannya saya berikan lewat klip video berikut. Ini lagu untuk ritual Gereja Katolik, tapi jangan takut, Anda tidak jadi Katolik hanya karena mendengarkan musik atau bahkan hafal liriknya sekalipun. Kalau takut, abaikan saja video klipnya, atau pilih tayangan 15 detik mulai dari 02.55. Itu melodi yang saya suka, yang saya anggap sebagai kejeniusan senior saya, penggubahnya. [Birama-birama di depannya dengan mudah mengingatkan saya pada beberapa lagu sewaktu saya masih SD.] Selain itu, lirik terjemahannya bisa jadi bingkai untuk memaknai nasihat berjaga-jaga: dan mempersatukan diriku sepenuhnya kepada-Mu; jangan biarkan aku terpisah dari[pada]-Mu.

Nah, jeniusnya penyanyi dan pembikin video klipnya: narasi yang dibangun di balik kerinduan untuk bersatu erat dengan Tuhan itu adalah upaya memperbaiki radio untuk ibadat. Sekonkret itulah kesatuan manusia dengan Tuhannya, dalam kehidupan yang serba biasa, yang receh. Relasi dengan Tuhan bukan sebatas perkara ritual atau seremoni; ini adalah perkara menggumuli hidup konkret dalam terang ilahi.

“Menurunkan Nabi”, kalau itu betul jadi petisi, justru berarti menghayati hidup biasa tadi dengan ikhtiar yang baik, dengan komunikasi yang baik dengan sesama, bukan malah memperalat Tuhan supaya berbuat ini atau itu mengakhiri penjajahan, eksploitasi, ketidakadilan, dan sebagainya. Petisi seperti itu malah rawan politik agama, dan di mana ada politisasi agama, di situ bercokol kemunafikan dan orang memisahkan dirinya dari kesatuan dengan Tuhannya sendiri.

Tuhan, mohon rahmat untuk senantiasa berjaga dalam cinta-Mu. Amin.


SELASA BIASA XXIX A/2
20 Oktober 2020

Ef 2,12-22
Luk 12,35-38

Selasa Biasa XXIX B/2 2018: Jangan Siap-siap Mati
Selasa Biasa XXIX A/2 2014: Dengar Dia Panggil Namamu?