Perilaku altruis yang bisa jadi contoh cinta bagai sang surya menyinari dunia ialah peringatan yang disampaikan orang kepada pengguna kendaraan yang ada dalam potensi bahaya. Misalnya, pengendara motor yang lupa menaikkan standar motornya berada dalam potensi bahaya terpelanting jika membelokkan motornya dalam kecepatan tertentu. Nah, biasanya orang lain yang melihat hal itu akan mengingatkannya pada potensi bahaya itu dengan melontarkan kata kunci “standar”. Setelah itu, orang yang mengingatkan tadi tidak akan menyusul pengendara motor ini dan membuka telinganya lebar-lebar demi mendengar ucapan terima kasih dari dari pengendara motor tadi. Itu adalah etiket keselamatan umum yang sekurang-kurangnya saya jumpai di tempat tinggal saya.
Beberapa hari lalu saya tunjukkan bagaimana etiket perjamuan makan dipakai Guru dari Nazareth untuk mengantisipasi etiket Kerajaan Allah. Orang beriman mesti mengambil posisi terakhir dalam perjamuan. Kalau orang tetap pandir, ia akan menangkap posisi terakhir itu dengan gambaran antrean dan ia mesti mengambil urutan belakang. Ya ini kan tetap saja perkara etiket perjamuan makan, yang berisiko siapa cepat dia dapat, dan yang telat keduluan lalat. Posisi terakhir dalam perjamuan dicontohkan oleh Guru dari Nazareth sendiri: dia yang melayani. Memang biasanya pelayan perjamuan itu makan belakangan.
Akan tetapi, justru karena hanya meminjam etiket perjamuan, nasihat untuk mengambil tempat terakhir tadi dimaksudkan sebagai anjuran untuk mengambil posisi Allah sendiri, yang melayani manusia. Ajaran apa lagi ini? Allah kok melayani manusia! Allah itu ya disembah, dipuja, diberi sesaji, dibuatkan lagu pujian, dan seterusnya.
Pada kenyataannya, bukankah kebanyakan manusia memperlakukan Allah sebagai pelayan? Tak kunjung dapat pekerjaan, bukannya melihat peluang wiraswasta atau cari lowongan dan bikin surat lamaran, malah melamar anak orang dan ketika hidup makin susah datang ke tempat ibadat berteriak-teriak minta tolong bahkan memohon supaya Tuhan menyediakan ini itu.
Dalam perspektif Kristen memang Allah itu begitu mencintai manusia sehingga ia mengutus para nabi sebagai pelayan Sabda supaya manusia menemukan jalan pulang; bukan supaya semua keinginan manusia terpenuhi. Lha kalau Allah mesti memenuhi semua keinginan manusia, apa Dia gak frustrasi?
Guru dari Nazareth menunjukkan jalan pulangnya dengan mengundang orang memakai perspektif Kerajaan Allah tadi: hidup tidak dengan ukuran kesuksesan di mata panca indra, tetapi dengan ukuran Kehendak Allah yang terus dicari. Maka, berbahagialah orang yang hidup seperti ini.
Teks bacaan hari ini juga menyodorkan komentar para tamu undangan,”Wah bahagia sekali mereka yang dijamu dalam Kerajaan Allah itu!” Guru dari Nazareth menunjukkan persoalannya: banyak yang diundang untuk perjamuan itu, tetapi tak ada yang menanggapinya karena aneka macam excuse. Orang-orang zaman now akan menyediakan excuse dengan segala rasionalisasinya, mulai dari klaim ateis, agnostik, sampai yang fanatik dan fundamentalis. Intinya ya cuma karena orang tak mau jadi pelayan (Sabda), tak mau posisi terakhir, tak mau jadi altruis dalam konteks yang lebih luas daripada sekadar perkara “standar” tadi.
Namanya juga manusia, Rom, masih butuh apresiasi, reward, pujian, dan sejenisnya.
Nah, bener kan kata Guru dari Nazareth itu?🤭 Yang diundang makan malah tak menikmati perjamuannya.
Tuhan, mohon rahmat kemerdekaan untuk menikmati perjamuan cinta-Mu. Amin.
SELASA BIASA XXXI A/2
3 November 2020
Selasa Biasa XXXI B/2 2018: Ayo Hijrah, (ke) Jokowi
Selasa Biasa XXXI A/2 2014: Merpati Tak Pernah Ingkar Janji
Categories: Daily Reflection
😆🤭 standarnya nyeker, mdh2n bkn krn standarnya altruis🤭
LikeLiked by 1 person