Butuh Intervensi?

Hari ini Gereja Katolik mengundang umat beriman, dengan label agama mana pun, untuk mengenangkan, mendoakan siapa saja yang sudah meninggal dunia, baik yang jiwanya berada dalam ketenangan abadi maupun yang masih memerlukan pencerahan akan terang kebangkitan. Saya hendak mengambil istilah ‘arwah’ dalam bahasa Latin, defunctus (bacanya defungtus, bentuk jamaknya defuncti), yang berasal dari kata kerja defungere (bacanya defunjere), yang berarti to have done with alias to finish atau sampai pada kematangannya. Maka dari itu, jika diterapkan pada manusia, kerap diterjemahkan dengan kata ‘mati’.

Di situlah letak problemnya. Dalam setiap tradisi keagamaan kiranya ada undangan untuk kunjungan ke makam mereka yang sudah meninggal dunia. Selain untuk mendoakan atau minta didoakan, kegiatan ini dapat membantu menyadarkan orang bahwa hidup biologisnya punya awal dan akhir. Tanpa kesadaran ini, hidup orang hanyalah suatu survival untuk melarikan dari takdirnya: kematian. Nanti ujung-ujungnya, kalau ia berdoa, intinya hanyalah soal penundaan kematian, lalu protes dan kecewa jika ternyata Allah tidak melakukan intervensi sehingga orang-orang tercintanya meninggal untimely, tidak seturut harapannya. “Mengapa malah anakku duluan yang mati?” “Mengapa malah orang baik yang terkena musibah sampai mati?” Orang-orang seperti ini mengira salah satu tugas Allah ialah mempertahankan hidup biologis orang.

Dari perspektif Kristiani, sosok Kristus datang bukan untuk melanggengkan hidup biologis, melainkan untuk mengalahkan kekuatan kematian. Mengalahkan kematian tidak berarti membuat semua orang bernyawa lima atau sepuluh seturut game yang dimainkan, tetapi menjalani hidup seturut kehendak Allah orang hidup, yang mampu membangkitkan orang. Dalam teks bacaan hari ini, “kehendak Allah” beberapa kali ditegaskan, dan memang dalam konteks itulah bisa dipahami kalimat yang bisa disalahtafsirkan oleh orang Kristen/Katolik,”Setiap orang yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.” Di mana letak salah tafsirnya? Biasanya dalam prasangka religiusnya: bahwa “melihat Anak dan percaya kepada-Nya” identik dengan menjadi Kristen/Katolik.

Padahal, ini justru bukan perkara pemakaian label, melainkan perkara memahami kualitas “anak Allah” dalam diri manusia dan menghidupinya seturut teladan mereka yang berjalan menapaki jalan Allah. Frase “jalan Allah” pun bisa disalahtafsirkan secara reduktif. Yang Kristen/Katolik menganggap Yesuslah satu-satunya jalan Allah, yang Islam beranggapan bahwa jalan Islamlah yang paling benar, yang Buddhis keukeuh pada delapan jalan kebenarannya, dan seterusnya. Saya tidak tahu bagaimana dalam tradisi agama lain, tetapi menurut saya, ketika Guru dari Nazareth mengklaim dirinya “Akulah Jalan, Kebenaran, dan Hidup (barangsiapa tidak melalui Aku, tidak akan selamat)”, itu bukanlah klaim religius yang menempatkan agama-agama lain dalam posisi inferior.

Itu secara gampang bisa dimengerti sebagai ungkapan kesaksian hidupnya, bahwa jalan Allah itu mesti melewati tahapan perkembangan hidup biologis yang pada saatnya mengalami dekadensi tetapi juga akhirnya kebangkitan. Ini sama sekali tidak mengatakan bahwa dalam keyakinan agama lain, tahapan itu tidak ada. Ada, tetapi rumusan dan gambarannya berbeda. Tapi sudahlah, nanti malah jadi lupa mendoakan dan mohon doa dari mereka, orang-orang yang kita cintai, yang sudah selesai dengan tahapan hidup biologisnya. Semoga semua makhluk berbahagia. Amin.


PENGENANGAN ARWAH SEMUA ORANG BERIMAN
(Senin Biasa XXXI A/2)
2 November 2020

2Mak 12,43-46
1Kor 15,12-34

Yoh 6,37-40

Posting 2019: Urip Kang Urup
Posting 2018: Don’t Run Away

Posting 2017: Arwah Orang Hidup

Posting 2016: Doa Arwah, hiii…

Posting 2015: Cuci Jiwa Gratis

Posting 2014: Di Mana Arwah Umat Beriman Itu?