Di jalur saya jogging terlihat beberapa bangunan yang wujudnya belum utuh sebagai rumah tinggal. Sebagian baru kelar pondasinya, ditumbuhi semak, dan dijadikan tempat pembuangan sampah. Sebagian lagi sudah lengkap dinding ruangannya, cuma beratap langit. Sebagian lainnya sudah beratap, tapi tanpa dinding dan pondasi…. baru dibayangin soalnya.🤭
Gambaran konkret seperti itu dipakai Guru dari Nazareth untuk menjelaskan bahwa jika orang mau sungguh beriman, dia mesti melepaskan diri dari segala miliknya, membenci ayah ibu, sanak saudara, dan sebagainya, dan menanggung salibnya. Akan tetapi, apa hubungannya ya perhitungan bikin rumah (atau perhitungan maju berperang) dengan membenci ortu dan seterusnya itu?🤔
Petunjuk jawabannya ada pada bacaan pertama: hal yang baik itu dikerjakan Allah dalam diri orang mulai dari kemauan sampai pelaksanaannya. Dari pihak manusia diminta kerja samanya. Kalau orang kerja sama, pastinya gak egois dong. Mesti ada hal yang dia lepaskan, percayakan, berikan, kepada yang lain.
Membenci ortu dan seterusnya itu, dengan demikian, bukan perkara benci karena ayah hobinya mabuk-mabukan dan ibu hobinya jambak-jambakan. Ini bukan juga perkara peringkat alias antrean seperti dibahas beberapa hari lalu sehingga orang beranggapan karena Tuhan peringkat pertama, yang lain-lainnya diabaikan.
Tetangga jauh saya cerita soal pertanyaan yang dia tak sukai sewaktu kecil: lebih suka papa atau mama. Ini pertanyaan aneh yang bikin anak mulai membanding-bandingkan dan bikin peringkat. Begitulah juga orang beragama, bisa saja sejak kecil diajari pemeringkatan: ada agama yang lebih benar, lebih baik, dan seterusnya. Dalam agamanya pun dibuatlah hirarki: yang paling tinggi Allah, berikutnya wakil-Nya di dunia, semacam Paus dalam Gereja Katolik begitu, dan seterusnya. Ini pengertian hirarki yang aneh, dan pasti bukan dari cinta sejati.
Dalam (cinta) eros memang ada pemeringkatan. Ini wajar, tetapi orang perlu hati-hati supaya preferensi itu tidak malah menyesatkan. Teks bacaan hari ini, misalnya, tidak sepantasnya didekati dengan perspektif peringkat: orang beriman yang sungguh mencintai Tuhan mesti membenci ortu dan segala miliknya, dan seterusnya. Ini bukan karena Tuhan yang pertama njuk ortu dan lain-lain itu belakangan, melainkan…. Nah ini relevansi perumpamaan membangun rumah atau berperang tadi: Tuhan itu sedemikian pentingnya sehingga sudah semestinya Dia meresapi hidup orang mulai dari kemauan sampai pelaksanaannya. Sudah sejak dalam pikiran orang mesti adil, mesti mempertimbangkan kehendak Allah, sampai bisa terlaksana secara tuntas dalam hidup orang.
Mari kembali ke perumpamaannya. Kalau orang tak memasukkan kehendak Allah, dia cuma bermodalkan keinginan untuk sukses, tidak menghitung risiko dan faktor tak terduga lainnya. Alih-alih mempersiapkan anggaran, orang mengedepankan gelojohnya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya bisa punya rumah atau kos-kosan eksklusif, dan seterusnya. Padahal, yang dipunyainya cuma mimpi, hasrat megalomania, halusinasi, dan sejenisnya. Tiada kerja sama dengan Allah, dan akibatnya bisa-bisa malah tidak tuntas.
Lha apa kalau kerja sama dengan Allah pasti tuntas, Rom?
Mungkin saja rumahnya tidak jadi, tetapi tidak bikin stres karena kesuksesan atau kegagalannya dijalani bersama Allah. Memangnya Allah itu selalu berhasil gitu po dalam kacamata penilaian material? Ya tidak! Nyatanya banyak nabi-Nya mati dibunuh tuh: karena manusia tak berkolaborasi dengan Allah, mulai dari keinginan sampai pelaksanaannya.
Tuhan, mohon rahmat untuk bekerja sama dengan cinta-Mu. Amin.
RABU BIASA XXXI A/2
Pw S. Karolus Borromeus
4 November 2020
Rabu Biasa XXXI B/2 2018: Master atau Admin?
Rabu Biasa XXXI A/2 2014: Mengikuti Jejak Susi
Categories: Daily Reflection