Tidak kuranglah wacana mengenai superioritas martabat manusia di atas barang ciptaan lain. Mulai dari falsafah hidup, filsafat, sampai teologi, semuanya mengindikasikan kesimpulan itu. Ilmu-ilmu yang tersisip antara filsafat dan teologi itu diorientasikan ke sana. Dalam fitur keamanan media internet, misalnya, pengguna mesti meyakinkan mesin bahwa “I am human” dengan beberapa ketentuan. Manusia, secara teoretis, lebih superior daripada barang atau hal yang diciptakannya, termasuk hukum agama.
Hukum agama yang kemarin dipersoalkan adalah perkara puasa, yang mendapatkan maknanya sejauh pelaku puasanya membangun relasi dengan Dia yang bikin dia (merasa) kudu puasa. Kuncinya ada pada relasi dengan Dia, Sang Khalik. Kunci ini juga dipakai dalam pendekatan terhadap hukum agama lainnya, hari Sabat, yang dipersoalkan dalam teks bacaan hari ini. Secara teoretis, hukum Sabat ini adalah hukum suci, yang dititahkan Allah sendiri. Akan tetapi, persoalannya ya seperti mesin yang butuh verifikasi “I am human” tadi. Orang butuh verifikasi apakah yang menitahkan itu Allah sendiri atau kepentingan relasi kekuasaan manusia.
Titah Tuhan itu tepat, menyukakan hati, tentu hati mereka yang terpaut pada cinta Allah. Begitulah relasi cinta. Sebaliknya, relasi kekuasaan merangsang rivalitas antikekuasaan (lihatlah pilpres yang melanggengkan perseteruan dua kubu atau cerita-cerita kungfu yang kental dengan balas dendam). Tak mengherankan, Guru dari Nazareth tidak bersoal jawab mengenai definisi bekerja yang disodorkan orang Farisi. Ia menyentil perspektif sempit penafsiran orang Farisi itu dengan menyitir narasai Kitab Suci untuk menegaskan bahwa manusia lebih bermartabat daripada faktor eksternal yang dibakukan manusia sendiri.
Perspektif sempit penafsiran orang Farisi itulah yang menjungkirbalikkan relasi cinta dengan Dia karena attachment terhadap perkara kuasa, mana yang benar, siapa yang harus ditaati. Akibatnya, orang malah diperbudak oleh ciptaannya sendiri atau dimanipulasi oleh orang lain. Lama-kelamaan, orang pun jadi barang, yang bisa dipakai, diperalat, bahkan diperbudak orang-orang lain yang hendak melanggengkan dominasi atau kekuasaannya. Maklum, kalau orang punya attachment, bukan lagi ia memakai produk ciptaannya demi relasi dengan Dia, melainkan ia diperbudak oleh objek kelekatannya itu.
Ya Allah, mohon rahmat kemerdekaan supaya hidup kami semakin tertambat pada cinta-Mu, alih-alih relasi kuasa manusia. Amin.
SELASA BIASA II B/1
19 Januari 2021
Posting 2019: RIP Tuhan
Posting 2017: Overdosis Agama
Posting 2015: Optimis Tanpa Harapan, Jadi Apa?

2 responses to “Relasi”
Terlalu banyak kekuatiran dan teori mematikan esensi terpenting dalam kehidupan sosial di masyarakat yang menjadi nilai utama ajaran Kristiani: kemanusiaan. Ujung2nya terperangkap seperti bangsa Farisi yang ketat menghidupi tradisi tapi lupa akan nilai utama yang justru harus jadi pusat kehidupan mrk, ajaran cinta kasih. Ini seperti imam yang banyak berkoar di mimbar atau mengajar dalam bentuk tulisan dll yg menuntut agar umat baiknya begini dan begitu dengan mengutip ajaran2 dalam ayat2 Kitab Suci, tapi hidup yang dijalaninya secara pribadi tidak cocok jadi teladan. Jadi ingat paradoks membantu pengemis di sudut jalan atau siapa saja yg kelihatan kurang beruntung yg kita temui dan yang tidak kita kenal: hati kecil berbisik ayo bantu tapi suara lain mengingatkan takut ditipu. Ujung2nya makin nambah dosa kalau ternyata kecurigaan ditipu tsb m hny suara yang berniat menghalangi maksud baik kita sedang orang2 tsb memang benar2 mereka yg termasuk tersingkirkan dan kurang beruntung. Jadi baiknya berpikirlah positif, tidak semua idealisme nilai2 filsafat yg dipelajari bahkan oleh seorang imam pun akan cocok 100% dg kehidupan nyata di dunia. Membutakan hati demi idealisme berlandaskan ajaran2 filosofis secara teoritis ibarat “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”! Toh kalau kekuatiran takut dikuasai dll itu benar, bakal jadi tanggungan dosa pihak yg manipulatif. Gitu aja repot ya.
LikeLike
The Grey, adh film penuh tragedi, dr awal ketika kecelakaan pesawat, lalu terdampar di hutan belantara alaska, juga hrs melawan cuaca dingin tak kenal ampun, sampai berperang melawan sekawanan serigala buas dn ganas. Mns kalah kuat, kalah jumlah. Mns sec fisik mmg termasuk lemah. Tokoh yg tinggal dlm film itu pd akhirnya adh serigala, bkn lagi mns. Tak satupun dr kita jg memilih pandemi. Ttp masing2 dr kita dpt melatih keberanian dlm menghadapinya, kemurahan hati dlm membantu org lain, dn ketahanan menghadapi tantangan yg dihadirkannya. Sungguh berkat ketika msh bs hidup di tengah mns yg msh sanggup berfikir dn saling berbuat baik, drpd seperti di The Grey dg serigala buas dn ganas, atau malah hidup dg mesin, belum lg tiap kali hrs discan, I am human😁
LikeLike