Sepertinya saya pernah bilang bahwa Guru dari Nazareth adalah provokator juga. Bacaan hari-hari ini memang menyajikan konflik antara beliau dan para tokoh agama dan politik; kalau empat konflik sebelumnya provokatornya adalah para lawan Guru dari Nazareth, konflik terakhir ini diprovokasi oleh beliau sendiri.
Ini masih berkenaan dengan hari Sabat, saat orang tak boleh bekerja (Kel 20,8-11), termasuk menyembuhkan orang sakit, seturut penafsiran orang Farisi. Sebetulnya Guru dari Nazareth bisa saja merumuskan pertanyaan klarifikasi,”Boleh gak menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat?” Dengan pertanyaan itu, orang Farisi dengan mudah akan menjawab,”Tidak boleh!” Akan tetapi, Guru dari Nazareth memodifikasi pertanyaannya,”Apa yang dibolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau jahat, menyelamatkan nyawa atau membunuhnya?” Ini provokatif, juga karena menggabungkan dua kategori pilihan: boleh/tak boleh dan baik/jahat.
Orang Farisi tak bisa memilih, karena, dikatakan dalam teks, mereka cuma punya satu tujuan: mempersalahkan Guru dari Nazareth. Kalau mereka memilih salah satu, terbongkarlah kedangkalan pemahaman mengenai hukum agama mereka sendiri (lha mosok hukum agama malah menindas orang sakit). Jadi, tak usahlah menjawab. Apa pun teori atau penjelasannya, pokoknya Guru dari Nazareth ini harus salah. Prihatin dengan kedegilan lawan-lawannya, dikatakan dalam teks, Guru dari Nazareth dengan marah memandang sekeliling.
Menariknya, kemarahan Guru dari Nazareth ini tidak menyingkirkan rasionalitas dan mengacaukan agendanya. Pilihan beliau jelas: juga pada hari Sabat, kualitas hidup manusia mesti dimuliakan. Ketika beliau meminta orang yang mati sebelah tangannya untuk berdiri di tengah, itu sangat simbolik. Selain supaya semua orang memperhatikan poin penting, Guru dari Nazareth hendak mengembalikan orang pinggiran ke tengah-tengah urusan hidup-mati manusia. Tidaklah elok penafsiran hukum agama menindas kualitas hidup kemanusiaan.
Tindakan Guru dari Nazareth ini benar-benar membuat sewot pemuka agama dan politik sehingga mereka keluar dari rumah ibadat, menjauhkan diri dari tengah-tengah keprihatinan bersama dan berunding bagaimana bisa membunuh Guru dari Nazareth. Pilihan ini sejalan dengan niat awal untuk mempersalahkan Guru dari Nazareth, bahkan sebelum mengenalnya, menyingkirkannya dari ranah publik semata karena mereka ingin mempertahankan dominasi mereka. Dengan begitu, mereka sendirilah yang menyingkirkan diri dari arena pergulatan hidup manusia; tak kenal diri dan mendiskriminasi diri sendiri dari kebaikan bersama karena keukeuh dengan tafsiran ekstrem mereka, dengan modal “pokoknya” tadi.
Barangkali klip video Kak Marissa Anita berikut ini pantas disimak untuk direnungkan.
Tuhan, mohon rahmat pengertian akan cinta-Mu yang jauh melampaui wawasan terbatas kami. Amin.
RABU BIASA II B/1
20 Januari 2021
Posting 2019: Jengkel Aku!
Posting 2017: Perkenalkan Akrasia
Posting 2015: Kita Mesti Telanjang
Categories: Daily Reflection