Anda yang Katolik mungkin pernah mendengar pengumuman seperti ini: “Yang diperbolehkan menerima komuni suci hanya yang sudah dibaptis atau diterima dalam Gereja Katolik dan tidak terhalang hukum” Saya tidak mengerti kepada siapa pengumuman itu ditujukan. Bagi yang sudah mengerti aturan Gereja Katolik, pengumuman itu tidak relevan. Bagi yang tidak mengerti, lebih tidak relevan lagi. Mungkin untuk sosialisasi hukum kanonik [tapi kenapa cuma ayat itu yang disosialisasikan ya?🤔].
Belakangan saya mendengar pengumuman tentang komuni begini: Yang terhalang untuk menerima komuni suci tetap harus maju ke depan dan cukup mengatupkan tangan.
Mungkin itu dibuat supaya pada saat komuni tidak ada kekacauan untuk social distancing. Akan tetapi, kalau Anda termasuk kaum “terhalang” dan ndelalahnya pas dapat tempat duduk urutan terakhir (sehingga tetap di tempat pun tak masalah), kenapa Anda mesti ikut maju, kan? Ya demi protokol, Rom.
Kalau demi protokol kesehatan, semestinya subjek pengumuman adalah semua, entah “terhalang” atau tidak. Jadi: demi kenyamanan bersama, seluruh umat wajib maju ikut antrean komuni dan yang belum/tidak dapat menerima komuni suci cukup mengatupkan tangan atau membungkuk. Ini membuat saya sebagai kaum “terhalang” tidak merasa diperlakukan “istimewa” [untuk tidak mengatakan diskriminatif].
Guru dari Nazareth menampilkan wajah Allah yang melampaui tendensi diskriminatif. Orang yang sakit lepra (simbol mereka yang tak punya sensitivitas moral spiritual) mendatangi Sang Guru. Ini out of the box. Lihatlah bacaan pertama tentang bagaimana mestinya orang lepra ini. Akan tetapi, reaksi Sang Guru juga out of the box: beliau malah menyentuh orang najis itu (dan itu membuat dirinya najis; maka beliau kemudian kesulitan masuk kota secara terang-terangan) karena tergerak oleh belas kasihan. Menariknya, menurut ahli Kitab Suci, terjemahan σπλαγχνισθεὶς (splanchnistheis, Yunani) punya beberapa alternatif dan mestinya dipilih pengertian yang “lebih sulit”.
Pengertian sulitnya ada pada terjemahan “marah oleh belas kasihan”. Lha kenapa jé Guru dari Nazareth kok malah marah?
Karena agama melestarikan paham Allah yang diskriminatif, yang mengisolasi pendosa, menyingkiri mereka, menghukum, dan sejenisnya. Paham Allah seperti ini bikin orang beragama jadi pandir. Tindakan Sang Guru mempersaksikan paham Allah yang berlawananan: Allah yang tak menginginkan kenajisan makhluk-Nya; dan kalau makhluk-Nya sampai najis, Dia justru menyentuhnya supaya bisa keluar dari isolasi kenajisan atau diskriminasi yang meredupkan kemanusiaannya. Tentu, tak perlu ditafsirkan secara literal bahwa orang beriman mesti menyentuh orang berpenyakit menular, kan? Sentuhan Allah punya makna lebih luas dan dalam.
Tuhan, mohon rahmat untuk mempersaksikan wajah belas kasih-Mu. Amin.
HARI MINGGU BIASA VI B/1
14 Februari 2021
Im 13,1-2.44-46
1Kor 10,31-11,1
Mrk 1,40-45
Posting 2018: Masih Bisa Bernafas?
Posting 2015: Di Mana Political Will?
Categories: Daily Reflection