Anda masih ingat apa arti nemo dat quod non habet: tiada orang yang memberikan sesuatu yang tak dimilikinya. Anda hanya bisa disebut memberi jika yang Anda berikan itu memang milik Anda: pengetahuan, kekayaan, perusahaan, dan lain-lainnya. Kalau Anda tak tahu, bagaimana Anda bisa memberi tahu? Kalau Anda tak punya duit, bagaimana Anda bisa menyumbangkan duit? Begitu selanjutnya sampai Anda berkeyakinan bahwa supaya bisa memberi, Anda mesti mengumpulkan sesuatu dulu, jadi kaya, jadi pintar, jadi konglomerat, dan seterusnya.
Keyakinan itu tampaknya mesti dikaji ulang jika Anda menyimak kata-kata Mother Teresa: semakin sedikit kita punya, semakin banyak kita beri. Tampaknya absurd, tapi begitulah logika cinta.
Apakah refleksi Mother Teresa ini bertentangan dengan dalil pertama tadi? Sekilas begitu, tetapi jika kita selisik baik-baik, dua hal itu malah klop karena keduanya saling melengkapi. Dalil pertama berkenaan dengan yang material, sedangkan pokok bahasan refleksi Mother Teresa adalah hal di balik yang material. Kalau Anda tak punya apa-apa lagi, yang bisa Anda berikan justru adalah diri Anda sendiri, bukan jabatan atau kekayaan. Hal yang mungkin malah tidak dapat Anda berikan selagi Anda punya jabatan atau kekayaan.
Teks bacaan hari ini menyodorkan kesalahpahaman para murid terhadap cinta Guru dari Nazareth kepada begitu banyak orang yang kelaparan. Ini adalah cinta yang lahir dari perjumpaan wajah penderitaan. Para murid juga sebetulnya mengalami perjumpaan wajah itu, tetapi yang ada di kepala mereka semata ideologi pengucuran materi dari tempat yang banyak ke tempat yang materinya sedikit. Maka, mereka menemui jalan buntu: gimana mungkin orang sebanyak itu bisa makan kenyang; bahkan kalau semua warung buka pun, belum tentu cukup.
Memang betul, nemo dat quod non habet, dan karena itulah apa pun yang mereka miliki perlu dikelola dengan prinsip cinta, keadilan, kesejahteraan bersama, dengan dasar keyakinan bahwa Allah adalah bapa bagi semua orang. Guru dari Nazareth tidak berpretensi memberi sesuatu, tetapi hatinya sungguh terpaut pada Allah. Maka, sebagai wujud perhatiannya, Sang Guru mengundang mereka semua, termasuk yang kelaparan, untuk mengelola apa saja yang dimiliki supaya ditata seturut cinta ilahi. Mungkin bisa jadi contoh: beberapa waktu lalu diresmikan gerakan nasional wakaf uang. Semoga gerakan ini sungguh mewujudkan keyakinan akan Allah yang pengasih dan penyayang bagi semua; soalnya, konon selama ini gerakan wakaf cuma berputar-putar untuk kepentingan ritual, alih-alih kesejahteraan bersama.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya cinta kami tidak jadi ideologi beku dan bertempurungkan kepentingan sektarian. Amin.
SABTU BIASA V B/1
13 Februari 2021
Posting 2019: Spiritualitas Kerumunan
Posting 2017: Sabar
Posting 2015: Hari Kasih Sayang nan Halal
Categories: Daily Reflection