Coba bayangkan apa jadinya hidup ini tanpa pasar, bukan pasar dalam arti spasial alias lokasi, melainkan dalam arti relasi. Rasa-rasanya tak ada orang yang menata rumahnya tanpa keberadaan pasar ini. Untuk pasang pompa air, saya butuh pasar atau toko bangunan, besi, yang pemiliknya butuh karyawan yang mesti juga tidak gratisan. Ini adalah relasi pasar yang dibutuhkan orang untuk membangun rumahnya.
Rumah butuh pasar, tetapi sebetulnya pasar juga butuh rumah, bukan dalam arti spasial alias lokasi, melainkan dalam arti relasi. Loh, udah ya tadi. Kalau tidak ada rumah dalam arti relasi ini, pasar pun cuma jadi representasi prakemanusiaan, yang kiranya sekarang mengambil bentuk kapitalisme liberal. Inilah persoalan yang dilihat Guru dari Nazareth dalam narasi teks hari ini. Keterangan bergambarnya bisa Anda lihat dalam posting O Ya Bongkar.
Saya kira beliau tak punya keberatan mengenai pentingnya relasi pasar untuk penataan rumah, tetapi itu hanya berlaku bagi rumah dalam arti spasial alias lokasi. Kalau rumah dalam arti relasi itu dijadikan pasar, kegaduhannya bisa menimbulkan kekacauan. Apalagi jika rumah itu dimengerti sebagai relasi dengan Allah, dan dijadikan pasar, kacaunya bisa lahir batin. Ini yang hendak dikatakan Guru dari Nazareth itu.
Dalam level individual orang beragama, mari lihat bagaimana orang berbisnis dengan Tuhannya. “Aku sudah berpantang dan berpuasa ya, sudah beramal pula, sudah mengikuti seluruh hukum agama yang diturunkan Allah sendiri, jadi sudah sepantasnya mendapat ganjaran yang baik dong!” Apakah itu malah bukan jadi momen neraka karena orang jadi arogan, bisa memperlakukan ganjaran Allah seperti hitung-hitungan di pasar? Tidak bisakah orang menghidupi agamanya karena cinta kepada Allah (yang sudah lebih dulu mencintainya), dan bukannya karena mau mendapatkan sesuatu dari-Nya?
Dalam level sosial, jika rumah itu seluas dunia, dan ditata melulu dengan mekanisme pasar, bukankah mentalitas konsumtif orang malah menghancurkan tatanan rumah itu? Ekologi, yang konon adalah perkara menata planet sebagai rumah bersama, tak mungkinlah dijalankan dengan mentalitas konsumtif untuk mengeruk sumber daya (njuk dikorupsi pula). Pantaslah kalau Guru dari Nazareth itu berang: orang menjadikan Bait Allah sebagai pasar! Bait Allah itu tiada lain hati orang sendiri. Baik level individual maupun sosial, rawan kehancuran manakala orang beragamanya pun ikut-ikutan memelihara mentalitas konsumtif dalam hatinya.
Barangkali, pengelolaan ruko yang baik pun mempertimbangkan batas antara rumah dan tokonya. Bukan cuma batas fisik, melainkan juga batas mentalitasnya. Entahlah, saya bukan pemilik ruko. Tuhan, jadikanlah hati kami seperti hati-Mu. Amin.
HARI MINGGU PRAPASKA III B/1
7 Maret 2021
Kel 20,1-17
1Kor 1,22-25
Yoh 2,13-25
Posting 2018: O Ya Bongkar!
Posting 2015: Kita Dihukum Bebas
Categories: Daily Reflection